RSS

Politik Ethis Kolonialis

A. Pendahuluan
Sebuah era baru dalam penjajahan Indonesia telah dimulai. Sebuah zaman yang akan membawa Indonesia ke masa yang lebih cerah, yang akan membawa pada kemerdekaan. Adalan sebuah era perpolitikan baru kolonialisme di Nusantara. Meningkatnya gaung tentang HAM turut berperan bagi era baru penjajahan di Indonesia. Bukan rahasia lagi kalau kebanyakan masyarakat Belanda, yang notabene merupakan penjajah Indonesia, turut meneriakkan tentang kebebasan dan kesejahteraan bagi Indonesia.
”Politik Ethis” biasa disebutnya, merupakan tonggak awal bagi kebangkitan rasa nasionalisme di Indonesia. Mengendurnya kolonialisme menjadikan rakyat Indonesia lebih banyak mendapat peluang untuk meningkatkan kemampuan diri, baik dalam ekonomi, politik, maupun pendidikan. Dan yang lebih utama dari adanya politik ethis ini ialah munculnya semangat nasinalisme yang menggerakkan semangat para pemuda membentuk organisasi-organisasi kepemudaan multi-nasional, yang menjadi tumpuan bangsa dalam merebut kemerdekaannya.
Selain hal di atas, peran agama juga semakin meningkat. Organisasi-organisasi keagamaan, terutama Islam, memberi warna tersendiri bagi era baru ini. Munculnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah menjadi bagian dalam sejarah Nusantara. Keduanya tidak dapat dikesampingkan dalam perkembangan bangsa Indonesia ini.
Untuk lebih jelasnya, saya akan coba mengurai tentang apa sebetulnya politik ethis itu, serta dampak dari berjalannya politik ethis tersebut? Baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Tentunya kita ingin mengambil hikmah apa yang dapat diperoleh dari mengkajinya, dan lebih jauh ingin menemukan arah dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Selain itu, kita juga ingin mengungkap kenapa politik ethis ini dijadikan awal langkah gerak sejarah bangsa kita?

B. Politik Ethis Kolonialis
Politik ethis (een eereschuld) merupakan kebijakan baru yang mulai cenderung untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan serta pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia . Kebijakan diambil oleh pemerintah kolonial setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak termasuk dari warganya sendiri seperti Pieter Broshooft, C. Th. Van Deventer, Eduard Douwes Dekker dan lainnya serta mendapat legitimasi setelah Ratu Wilhemina mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa.
Dalam penerapannya, pihak Belanda menyebutkan bahwa ada tiga prinsip yang dianggap sebagai dasar kebijakan tersebut; educatie, emigratie irrigatie (pendidikan, perpindahan penduduk, pengairan). Kebijakan ini juga membawa dampak bagi segala aspek kehidupan di Indonesia, di antara dampak-dampaknya ialah berikut ini:

1. Politik
Desentralisasi menjadi sasaran utama adanya politik ethik kolonial. Desentralisasi dari Den Haag ke Batavia (Jakarta). Dari Batavia ke daerah-daerah dan dari orang Belanda ke orang-orang Indonesia. Namun jika dilihat dari jumlah anggota dewan yang ada di setiap kota, maka tidak merepresntasikan sepenuhnya suara rakyat Indonesia. Hal ini karena mayoritas yang duduk di kursi dewan adalah orang Belanda dan hak suara hanya diberikan kepada penduduk laki-laki yang melek huruf.
Langkah paling nyata ke arah desentralisasi adalah pembentukan Dewan Rakyat (Volkraad) , yang sidang pertamanya diselengarakan pada 1918.
Dari dalam negeri, mengendurnya kebijakan politik mendorong berdirinya organisasi-organisasi keangkitan nasional. Sebuah blunder bagi kaum kolonial, karena berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi semakin meningkatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia yang membawa kepada kemerdekaan bangsa.
Peningkatan jumlah penduduk yang drastis juga menjadi bagian dari berkembangnya politik ethis. Pada tahun 1930 menyentuh angka 40,9 juta jiwa untuk penghuni Jawa dan Madura saja. Padahal hanya 28,4 juta jiwa pada tahun 1900, dan 34,4 juta jiwa pada 1920. sedangkan luar Jawa mencapai 18,2 juta Jiwa. Hal yang tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi Jawa yang kalah produksi dari luar Jawa.
Peningkatan jumlah penduduk ini juga mendorong adanya transmigrasi (emgratie: dalam istilah Belandanya). Banyak penduduk Jawa yang berpindah ke Sumatera meski hanya sekedar menjadi kuli. Namun sebetulnya, perpindahan tersebut tidak sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat.
Ada beberapa yang dinilai sebagai penyebab dari peningkatan jumlah penduduk ini. Di antaranya adalah peningkatan anggaran kesehatan yang meningkat hampir sepuluh kali lipat. Dilakukannya imunisasi, kampanye anti malaria, perbaikan-perbaikan kesehatan menyebabkan turunnya angka kematian.
Penggunaan genteng jua menjadi menurunnya angka kematian yang biasa disebabkan oleh wabah pes yang melanda akibat tikus yang biasa hidup di atap-atap jerami. Meski secara umum kesehatan di Nusantara masih belum memadai, tapi berkembangnya organisasi-organisasi kemasyarakatan banyak berperan dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan.
Kemudian pada kurun waktu sampai 1927 juga dilaksanakan penyusutan jumlah desa di Nusantara. Dari 30.500 desa pada 1897, kini tersisa 18.584 desa saja. Hal ini ditempuh untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih rasional dan menjamin gaji yang lebih tinggi untuk kepala desanya.
Dan yang paling menjadi sorotan bagi dunia kesejarahan dalam era ini adalah bergesernya suatu paradigma yang mulanya cenderung ke barat-baratan kini lebih cenderung pada sudut pandang Indonesia. Eropasentris dianggapnya suatu bentuk penulisan sejarah tidak objektif karena bukan dinilai dari objeknya. Heather Sutherland menjadi tokoh utama adanya paradigma baru ini. Di Indonesia sendiri, Kuntowijoyo tampil sebagai sejarawan pertama dari kalangan penduduk biasa, karena sbelumnya, penulis sejarah meskilah seorang bangsawan, ningrat. Ciri yang menunjukan paradigma baru sejarah ini dari penggunaan kata perjuangan yang sebelumya pemberontakan, juga terbukanya penulisan sejarah bagi semua kalangan.

2. Ekonomi
Pada zaman ini juga ditandai dengan naiknya pamor Nusantara dalam poduksi. Nilai ekspor barang meningkat drastis, baik dari semar pertanian maupun minyak bumi. Produksi gula meningkat hampir empat kali lipat -sebelum mengalami depresi-, teh meningkat hampir sebelas kali lipat. Begitupun dengan produk tembakau, lada, kopra, kopi dan lainnya.
Minyak bumi juga seolah tak mau kalah. Meski sempat dikhawatirkan industri minyak bumi akan tenggelam -disebabkan ditemukannya lampu pijar yang tidak menggunakan minyak-, tapi seperti kebetulan di saat yang sama juga ditemukan mesin-mesin teknologi baru seperti mobil. Bahkan Nusantara menjadi salah pengekspor minyak bumi terbesar di dunia. Hal ini mendorong para investor asing untuk mulai menanamkan modalnya dalam negeri. De koninklijke, yang menjadi pemasok terbesar, bergabung dengan Shell Transport dan Trading Company menjadikannya perusahaan minyak multi nasional terbesar. Royal Dutch Shell, gabungan perusahaan multinasional tersebut, memproduksi 85% dari seluruh produksi minyak bumi Nusantara.
Selain minyak bumi, karet juga menjadi salah satu penghasil terbesar di Nusantara ketika munculnya kendaraan-kendaraan bermesin. Hevea Brasiliensis (nama latin karet) menjadi tanaman yang paling banyak ditanami di periode tahun 1930-an. 44 persen dari luas tanah yang disediakan bagi lahan perkebunan ditanami karet. Pada masa itu, Indoensia memproduksi hampir separoh dari kebutuhan karet dunia.
Era ini ditandai dengan menurunnya produk-produk ekspor Jawa dibanding dengan produk Luar Jawa, kecuali teh dan gula. Bahkan gula pun tenggelam setelah terjadi depresi, walaupun produksi tidak menurun, tapi karena harga turun menimbulkan kerugian. Meski ekspor ubi kayu hampir seluruhnya berasal dari Jawa, namun nilainya hanya seperdelapan dari ekspor karet.
Bergesernya kegiatan ekonomi ke daerah-daerah luar Jawa menimbulkan kesulitan yang besar dalam kebijakan pemerintah. Lapangan investasi dan penghasil komoditi ekspor yang terpenting berada di luar Jawa.

3. Pendidikan
Banyak sekali usaha yang dijalankan di bidang pendidikan, dan hasil-hasilnya seringkali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung politik ethis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia, tetapi ada uda aliran pemikiran yang berbeda mengenai jenis pendidikan yang bagaimana dan untuk siapa. Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan yang ’ethis’ pertama, J.H. Abendanon, mendukung pendekatan yang sifatnya elitis. Mereka lebih menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elit Indonesia yang dipengaruhi Barat, yang dapat mengambil alih banyak dari pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintahan berkebangsaan Belanda, sehingga menciptakan suatu elit yang tahu berterimakasih dn bersedia bekerjasama, memperkecil anggaran belanja pemerintah, mengendalikan fanatisme Islam, dan akhirnya menciptakan keteladanan yang akan menjiwai masyarakat Indonesia golongan bawah.
Idenburg dan Gubernur Jenderal ven Heutsz mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya. Pendekatan yang sifatnya elit diharapkan dapat menciptakan pemimpin-pemimpin baru bagi zaman cerah Indonesia-Belanda yang baru, sedangkan pendekatan yang merakyat itu akan memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan.
Tahun 1900 mulai berdiri OSVIA yang mas pendidikannya berlangsung slama lima tahun dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia yag telah menyelesaikan sekolah rendah Eropa. Tahun 1927 masa pendidikannya ikurangi menjadi 3 tahun. Sekolah Dokter Jawa diubah menjadi STOVIA yang terbuka untuk orang-orang Indonesia. Abendanon memperluas peluang bagi rakyat Indonesia yang bukan bangsawan untuk memasukinya dan menghapuskan uang sekolah bagi para orangtua yang penghasilannya di bawah 50 gulden per bulan.
Para bupati yang konservatif menjadi penghalang Abendanon dalam langkah pembaruan-pembaruannya. Cita-citanya sebetulnya sama dengan yang dimiliki oleh RA Kartini (1879-1904), putra bupati maju di jawa, RM Adipati Arya Sasraningrat.
Cita-cita tentang pendidikan kaum wanita yang begitu didambakan oleh Kartini dan Abendanon tersebut tidak pernah mendapat prioritas pemerintah, terutama oleh pengaruh para bupati yang konservatif dan pejabat-pejabat kolonial yang skeptis. Pada tahun 1911 Abendanon memberikan penghargaan pribadi kepada Kartini dengan menerbitkan surat-surat Kartini yang mengharukan yang ditulis Kartini antara tahun 1899 dan 1904 dengan judul door duisternis tot licht (habis gela terbitlah terang). Di negeri Belanda pada tahun 1913 didirikan suatu yayasan swasta ernama Kartini Fond (Dana Kartini) yang akan mengurusi pendidikan berbahasa Belanda agi kaum wanita Jawa, yang kemudian disubsidi oleh pemerintah Belanda..
Pada tahun 1909 juga mulai didirikan sekolah-sekolah kejuruan, meski sempat terjadi pertentangan di antara Snouck Hurgronje dan Gubernur Jenderal van Heutsz. Misi-misi Kristen memulainya di Minahasa, daerah-daerah batak Sumatera dan Jawa. Sekolah-sekolah tersebut juga membuka kursus bagi pandai besi, tukang kayu, tukang listrik dan para montir mobil.
Perbaikan pendidikan yang paling berarti adalah dalam sistem sekolah yang dibuka untuk orang-orang Indonesia sejak tahun 1892-1893. sekolah dasar ini dibagi ke dalam dua kelas; kelas satu diperuntukkan bagi golongan atas, sedangkan kelas dua untuk rakyat jelata. Guru-guru berkebangsaan Belanda, meski kebanyakan wanita karena para lelakinya hampir semuanya tak sepaham dengan ide ini.

4. Agama
Pada pergantian abad XIX ke XX, banyak orang-orang Islam yang mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan-perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan den banggan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Kesadaran ini membawa angina segar untuk segera membenahi sistem-sistem klasik untuk beralih pada sistem yang lebih modern.

C. Kesimpulan
Secara umum, politik ethis telah memberi banyak keuntungan bagi kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Baik dari segi pendidikan yang mengalami banyak peningkatan, perekonomian yang mendunia, serta kelonggaran perpolitikan kolonial yang meningkatkan syahwat nasionalisme, sehingga banyak berdiri organisasi-organisasi keagamaan maupun kebangsaan.
Namun demikian, kebijakan ini juga mendapat kritik dari Douwes Dekker yang menangkap adanya kesenjangan antara pengaruh terhadap rakyat kecil dan kaum elit. Nilai pendidikan dianggap terlalu tinggi untuk masyarakat kecil dan bahkan terkesan dipersulit. Hal ini dilihat dari peraturan yang ada di sana.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Anonim mengatakan...

weq...puanjaaang banget nih..hehehe

Posting Komentar