RSS

Petiklah!

Sunyi,
Hari ini begini sunyi...

aku ingin
ada yang memetik dawaiku
agar dapat mengeluarkan irama
maukah kau memetikkannya?
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Darussalam

Negeri Damai, Nyiur Melambai

Tiga tahun yang tak terlupakan, adalah tiga tahun di Darussalam. Masa terindah yang menyimpan beribu kenangan. Pahit manisnya tak kan terlupakan. Yang memberikan pada penduduk negerinya banyak masukan. Bukan harta memang, tapi hikmah dan pengetahuan. Sesuatu yang tak begitu banyak didapatkan di lain lembaga pendidikan.

Segala macam pengetahuan bisa kau dapatkan. Dan lebih utama, ialah akhlak yang mulia pun diajarkan. Bahkan menjadi salah satu pedoman. Sehingga penduduknya dikenal santun-santun dan sopan.

Pondok pesantren Darussalam, sebuah negeri yang damai dihiasi beribu dedaunan yang nyiur melambai. Terletak di desa Cidewa, Cijeungjing, Ciamis, tak membuatnya kecil hati. Meski jauh dari hiruk-pikuk keramaian, namun nama besarnya berkibar di penjuru negeri. Walau usianya sudah hampir menginjak angka delapan puluh tahun, tetapi masih kokoh berdiri.

Sudah jutaan santri dari penjuru Nusantara yang belajar di sana. Tak ada kata lelah baginya. Meski aku bukan yang terbaik di antara mereka, namun ia telah memberikan yang terbaik bagi santrinya. Tak dapat dihitung berapa alumninya yang berjaya karenanya.

Darussalam, negeri damai nyiur melambai. Meski aku jauh sekarang, bukan berarti aku lupa diri. Sepenuhnya aku menyadari, betapa kau bagian dari hidupku yang paling berarti. Tak satupun dapat menghalangi, untukku mengenang semua yang telah kulalui. Dan kau kan selalu di hati ...

Semua punggawa, Bapak Pengasuh dan keluarga, guru dan ustadz yang selalu setia membina, kawan-kawan seperjuangan yang senantiasa bersama dalam suka maupun duka, semuanya tak kan pernah dilupa.

Mungkin aku tak jarang mengecewakan kalian, menyakiti hati kalian, entah disengaja maupun tidak. Tapi aku senantiasa menyimpan kebaikan-kebaikan kalian. Bapak Pengasuh yang dengan sabar dan tulus membina kami sampai lulus, jasamu akan terus menemani langkah kami. Aku yakin, doanya selalu menemani perjalanan segenap alumni. Meski jarak memisahkan kita, tapi hubungan kita melekat dalam hati.

Segenap guru dan akang-akang yang mengajarkan kami mengaji, kalian pun telah menjadi bagian di hati kami. Jasa kalian masih erat mengalir dalam darah kami. Suara kalian saat mengajar, senyum kalian di hadapan kami, raut wajah kalian, bahkan raut wajah kekecewaan kalian saat mengajar, tak satupun luput dari ingatan. Nasihat kalian masih begitu jelas terdengar. Meski kami juga sadar, banyak dari ilmu yang sudah didapat betapa tidak diamalkan. Semoga Tuhan mengampuni keburukan kami, karena rahmat Tuhan senantiasa bersama kalian.

Kepada kawan-kawan seperjuangan, bayang kalian masih jelas terlintas berkelibatan. Satu per satu hadir dalam mimpiku, bagai malaikat yang setia menemaniku saat kesepian. Photo kalian masih kusimpan, kujadikan kenangan. Aku ingat betul betapa aku sering menyakiti kalian, baik lewat ucapan maupun perbuatan. Semoga kalian telah memaafkan semua kesalahan, sebagaimana aku memaafkan. Mungkin aku pernah berhutang, aku harap kalian sudah melunaskan (he ...2009x. nggak ketang, umpami abdi aya utang, nyarios wae, soalna urusan akhirat!).

Ceu yayah juga ma Iyah yang tak kenal lelah memasak untuk kami, meski kami lebih banyak merepoti, baik dari sikap kami maupun hutang-hutang kami. Kalian pun mendapat tempat tersendiri dalam buku catatan kami.

Semua santri Darussalam yang pernah mengenalku, mungkin dan aku pernah mengenal kalian, saya yakin hubungan kita masih tetap terjaga

Darussalam, jiwaku selalu merindukanmu, ketidakhadiranku bukan berarti aku melupakanmu. Terkadang ada hal di dunia ini yang tidak kita mengerti. Bahkan terlalu banyak duri yang menghalangi. Mungkin kau marah padaku, kecewa denganku, tapi hatiku selalu menyisakan tempat untukmu. Tanah damai, nyiur melambai. Jelas sekali lambaianmu menanti kehadiranku. Begitupun dengan kerinduanku akan di sampingmu. Tapi dunia ini belum menghendaki. Masih banyak yang harus kubenahi, setidaknya membawakan buah tangan untuk membalas budi. Aku sedang mencari buah tangan yang pantas untuk kuberi.

Salamku untuk semua. Kutunggu kabar kalian,,,

Kenangan:
 Aku masuk pertama kali tanggal 21 satu Juli. Aku yakin kalian yang pertama kali mengenalku, pasti masih mengingatku hingga kini.
 Diajar segala macam ilmu yang menurutku baru.
 Fanatisme pada klub sepakbola, mewarnai persabatan kita. Kau yang suka Roma, Inter, Juve, Arsenal, Milan dan lainnya, semuanya belum akan terlupa.
 Ketika kita naik pohon kelapa, untuk diminum airnya dan dimakan buahnya bersama-sama.
 Ketika mengikuti gerak jalan di alun-alun Ciamis, salah satu kenangan manis.
 Ketika membuat dokumenter.
 Masih tampak auranya waktu kita membuat dekorasi acara.
 Kang Badru dan teman-teman pengurus lainnya, terimakasih kerjasamanya.
 Kang Najiyullah, Kang Iweng, Kang Zou, Kang Dik2, yang membimbing kami di asrama. Maaf kabel antenanya kami potong untuk kepentingan kami.
 Suara motor Shogun dan F1 ZR masih terasa di telinga.
 Maaf pada teman yang dicebur karena poker, tetapi aku masih bisa selamat karena mungkin aku memegang poker.
 Yang pernah se kamar, ingatkah kalian?
 Abdul, betapa sering aku menyakiti lewat kata-kata. Kau termasuk orang yang mulia, semoga kaku membaca.
 Kau yang cantik, pasti sekarang masih cantik, mungkin bertambah cantik.
 Pasti masih melekat di otak kalian ketika kita makan sepiring berempat, entah di ma Iyah maupun ceu Yayah.
 Maaf pada yang sering aku takuti pake cicak. Blade si kucing.
 Oh ya, kita juga pernah nonton film di asrama bukan?? Segala macam film sudah pernah kita rasakan.
 Yang suka menempel potongan koran bergambar perempuan di pintu belakang.
 Kemudian tergelitik menyaksikan kiper Jepang yang unik.
 Pokeran maupun gaplekan tak hilang dari ingatan, bahkan mungkin paling sering terbayang, mukamu pernah kucoret dan badanmu kulepet.
 Uas semester ganjil aku disengat tawon karena ulah kita, hingga malamnya terpaksa melek maen gaplek karena tak tahan diejek.
 Oh ya, aku juga pernah ke Pangandaran diajak keluarga Akhunx, pulangnya nyewa film di ultra.
 Ke rumah syarief, makan bakar ayam dan ikan, berphoto di tempat semacam museum, iya ya?
 Estafet ngunjal kayu bakar, demi memikul nasi dari dapur.
 Kita juga pernah naik ke puncak Galunggung ya, hampir saja kulupa ...
 Aku juga masih ingat maen gaplek bertiga di malam tahun baru 2006 sampai siang, sehingga mendapat gelar M.Ag (Master Ahli Gaplek).
 Lagu-lagu PHB menemani permainan kita.
 Sudah kumaafkan kalian yang sering ngambil odol di lemari.
 Yang suka lagu Sistem of A Down, Linkin Park dan Nirvana.
 Kapan-kapan aku pengin makan nasi mergo lagi, kalau ada reuni kasih-kasih kabar yang sampai. Nasi mergo yang katanya mau jadi sponsor utama AS Roma.
 Yang habis pulang suka bawa buku bacaan dewasa juga ada.
 Oling, sudahkah kau mulai eling?
 Tobatlah kalian yang suka mengunci pintu kamar dari depan seolah kalian pergi mengaji padahal sembunyi. Beberapa kali aku juga pernah, he ...
 Terimakasih yang pernah kuhutangi uangnya.
 Menampar senior??? Prestasi tersendiri yang aku yakin belum ada yang bisa menyamakan.
 Satu semester sekali mendapat beasiswa kita makan bakso ayu.
 Darussalam memang memberikan segalanya, sehingga aku bisa maen poker, gaplek, bahkan gitar pun di sana. Terimakasih yang sudah mengajariku.
 Bau busuk taik ayam masih melekat di hidung waktu kami menikmati ayam bakaran Rudi di depan asrama.
 Masalah bakaran, aku pernah nggak kebagian ayam baker gara-gara nonton Chelsea di ceu yayah.
 Lari pagi juga menghiasi perjalanan kami, O’en, Iphey, Budut, Daenk (maaf kalau ada yang terlewat)
 Semoga kalian masih ingat penampilan band kita, meski aku membawakan lagu tak sebaik yang diharapkan, ditunggu kiriman rekamannya..
 SATAP kenangan terakhir kita.
 Dan ribuan kenangan yang tak dapat kusebutkan,,,
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mawar Merindukan Merah

Tiada ujung penantianku akan kehadiran-Mu.
akan kusisakan tempat selalu di hatiku untuk-Mu.
bahkan semua ruang hatiku untuk-Mu bila perlu.

Mungkin aku pelita yang bersinar di bawah cahaya Matahari.
Ada-ku adalah tiada-ku di bawah-Mu.
Mungkinkah aku bisa bersatu?
Kau adalah Cintaku, karena cintaku hanya untukku dan untuk-Mu..

Kunanti Merahmu untuk mewarnai bunga mawarku.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gali untuk Diri

Kenapa harus kuterima ini?
Padahal aku tahu akan membawa luka
Kuberi kau bunga
Tapi kau beri aku durinya

Tiada hari kulalui
Tanpa perih hati
Perih yang tak terobati
Aku jatuh ke lobang untuk yang kedua kali

Awalnya kukira lubang itu
Sudah tertutup
Tapi, lobang itu kugali kembali
Hanya untuk mengubur diri hidup-hidup
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tak Terkata

Jutaan kata tak ’kan cukup
Mengurai semua tentangmu
Laut pun kering
Bila ia kujadikan tintanya
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pahlawan I

Kau tampil di tengah ketegangan
Seolah engkau memberi pertolongan
Mendatangkan ketenangan
Menghilangkan penderitaan

Sudahkah kau mampu?
Memiliki modal kekuatan
Jangan kau pura-pura tahu,
Atau kau tahu tapi ...

Lihatlah akibat kedatanganmu
Apa kau tidak menggunakan pengetahuanmu
Lalu kenapa kau berulah seolah pahlawan
Padahal kau adalah pecundang

Sudahlah jangan kau pikirkan
Masi sudah menjadi bubur
Biarlah itu jadai pelajaran
Buatmu yang sok pintar!
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pahlawan II

Dulu kau datang bagai pahlawan
Menjanjikan kemenangan
Perisai di kiri pedang di kanan
Sadarkah kalau kau pecundang?

Kau telan janji itu
Dibahnya menjadi batu
Kau tukar pengetahuan
Dengan kebodohan

Terkadang peristiwa kecil
Dapat menjadi sejarah yang besar
Tapi, akankah seorang yang kerdil
Dapat berubah menjadi besar?

Setidaknya kau punya niatan baik
Meski hasilnya tak terlalu baik
Permintaan maafmu itu
Tak menghilangkan belenggumu

Semoga kau tahu
Kalau aku tak tahu maksudmu!
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tegur

Biarlah anjing-anjing
Merendahkan Tuhan
Tapi aku tak mengikutinya
Melainkan menegurnya

Anjing tak tahu teguran
Malah ia menerkam
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Merah

Dengan anggur aku dapatkan merahku
Kini tak ada yang memisahkan kami
Bahkan waktu sekalipun

Sudahlah jangan kau gugat cintaku
Aku tak sudi jika ia dinodai
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Merah yang Pudar

Kenapa kau menghindar
Dulu kau begitu kental
Memberi warna untuk jiwaku yang binal
Bagai merah bagi mawar

Anggur itu sudah tak ampuh
Bahkan kini membuatku angkuh
Menjadikan ku lumpuh
Dan hanya bisa mengeluh

Tak ada yang bisa mendengar
Berontak jiwaku yang ingar bingar
Teriak itu cukup aku saja
Dan ia kulampiaskan hanya dengan kata

Tak bermakna memang
Paling tidak menghilangkan sedikit bimbang
Semoga saja cepat hilang
Berganti merah yang datang
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Senyum Rembulan

Amat jelas bayang itu
Senyum terukir manis
Di wajah yang tak kalah manis
Rembulan pun tersenyum menatapnya
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Andai Aku Angin

Terbit mentari, cerah hati
Agung nian kau ciptakan semua
Keindahan ini

Keanggunan mentari pagi
Gerak langkahnya
Kelembutan
Decak kagum tumpah ruah
Bak waterfall

Senyum dan tawa kecil
Hiasan keahagiaan
Gerimis mewarnai cerita

Jadikan aku angin
Yang senantiasa membelai keindahan itu
Melindungi kebahagiaan ini
Agar tiada yang dapat merenggutnya
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Seringai Bangga

Di masa lampau, masyarakat Jawa pada umumnya tak banyak bicara. Tak terlalu berhasrat untuk berkuasa. Tak perlu adanya konfrontasi untuk mendapatkan pengaruh kekuasaan ke seluruh dunia. Cukup dengan mengganjal perut dengan segenggam makanan akan membuat tenang mereka.

Namun, ternyata mereka juga bisa marah jika ketenteraman mereka diusik. Hal ini terjadi ketika ada pendatang baru yang berani merusak kelestarian lingkungan Jawa, meski dengan propaganda menarik. Seperti yang dilakukan oleh pendatang dari Rum yang membabat sebagian hutan untuk perkampungan. Dia mempromosikan modernisasi, mempropagandakan pembangunan. Tapi Semar, leluhur Jawa tak mau lingkungannya diusik.

Bagi Semar, tak perlu ada pembaharuan. Ia tidak butuh modernisasi. Yang ia butuhkan kenyamanan, ketenteraman dan kesejahteraan. Untuk apa pembangunan digalakkan kalau ia merusak kelestarian alam. Mengikis keharmonisan lingkungan.

“Hai pendatang baru, tak tahu diri kalian.” Seru Semar tak rela tanahnya diperlakukan semena-mena oleh orang lain. Ia merasa bahwa tanah kekuasaannya tak berhak diapa-apakan kecuali olehnya. Apalagi membabat hutan yang tak lain adalah tempat tinggalnya.

Tak ada seorangpun yang berani menebang satu batang pohon pun di tanah kekuasaanya. Tapi manusia yang satu ini, tanpa rasa takut dan penghormatan pada leluhur menebang satu demi satu tanaman hutan. Dengan dalih ingin memajukan tanah Jawa dengan pembangunan.

Si pembabat hutan itu menghampiri Semar, ”inilah salah satu alasan kami mendirikan perkampungan di sini. Menciptakan modernitas. Menghilangkan pikiran-pikiran picik sepertimu, yang tak tahu arus.”

Semar semakin tak terima. Kata-kata yang keluar darinya bagai goresan pedang di hati melalui telinganya. ”Kurang ajar, kau menantangku rupanya ya!!!” Semar melayangkan tinjunya ke muka pembabat, tapi dengan sigap tangan Semar dielakkannya. Tangan kirinya menyusul tangan kananya yang gagal mengenai muka si sok pintar itu, tapi kembali dimuntahkannya.

”Tak perlu kau emosi tuan. Kedatangan saya ke sini dengan maksud baik.”

Semar seperti semakin dihina dengan perkataan itu. Ia melayangkan tubuh sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya ke arah musuh, tapi berulang kali ditangkisnya. Tak satupun tendangannya mengenai sasaran.

Putus asa, Semar pergi meninggalkan si pembabat hutan itu. Perasaan dongkol menemani pelariannya. Mencari pembelaan. Ia berjalan ke arah Wonosari, meminta bantuan Nyi Gahung Mlati, pemimpin roh penunggu hutan belantara.

”Nyi, selazimnya Nyai tahu tentang peristiwa yang menimpa hamba. Adakah jalan keluarnya?” Semar membungkukkan badan dengan mengangkat tangan yang dirapatkannya. Lama pertanyaannya terucap, tapi tak ada jawaban yang terlontar dari sosok perempuan di hadapannya.
***

Di abad modern, abad XXI, Semar masih belum bisa menerima kehadiran orang asing yang ingin merusak kelestarian alam. Kali ini ia tidak turun langsung untuk menjaga kelestarian keberadaan Jawa. Melalui pengikutnya, ia mendogmakan tentang pelestarian kemurnian lokal. Ia tak ingin ada kontaminasi yang dulu menimpanya semakin merajalele. Baginya lebih baik memakan ubi dan singkong daripada makan daging yang dihasilkan dari peternakan yang menebang hijau tetumbuhan hutan.

Ngadyo berkata pada orang yang berjenggot, bergaun gamis keputih-putihan. Peci putih menempel di kepalanya. ”Apa Tuhan hanya menerima kalian, sedangkan aku memakai batik dan blangkon?”

”Masya Allah.. Astaghfirullah.. Tuhan tidak melihat fisik kita. Tuhan tidak menilai dari cara berpakaian kita. Tapi ini yang dinilai-Nya..” jari telunjuknya menuding dadanya. Kepalanya digeleng-gelengkan. Dari wajahnya tersemburatkan senyum. Senyum yang sulit diartikan.

Ngadyo tersenyum bangga mendengar jawaban dari Salim. Tapi tak ada tanda keanehan dari diri Salim. Mungkin ia tidak tahu maksud pertanyaan Ngadyo. Selanjutnya tak ada lagi bincang dari keduanya. Kecuali ucapan amien ketika imam selesai membacakan surat al-fatihah.

”Maaf, pak Ngadyo, boleh kita melanjutkan perbincangan tadi?” Ngadyo belum tahu maksud permintaan Salim. Tak terlintas di benaknya bahwa ternyata Salim belum puas dengan pertanyaan Ngadyo.

Polos Ngadyo berkata, ”perbincangan yang mana ya?”

”Ohh, maaf. Saya hanya ingin menanggapi pertanyaan bapak mengenai cara berpakaian...”

Belum selesai bicara, Ngadyo langsung memotongnya karena pikirannya baru bisa mengena maksudnya, ”Ohh, iya maaf, maaf. Saya kira perbincangan yang mana!” Mungkin karena banyaknya mengobral mulut, sehingga Ngadyo lupa dengan perbincangan dengan Salim.

”Mungkin pak Ngadyo beranggapan bahwa hanya ada sedikit makna di balik cara kita berpakaian, asal menjaga kesopanan dan kepantasan. Saya paham maksud bapak, dan orang-orang di sekitar bapak. Sudah banyak kata-kata seperti itu berhembus ke telinga saya dan kawan-kawan di sekitar saya.”

Ngadyo menyimak betul setiap kata yang keluar dari Salim, agar setiap saat ia bisa mementahkan ucapan-ucapannya. ”Pak Ngadyo, apa bapak tidak merasakan manfaat berpakaian, kemudian model pakaian yang kita kenakan, serta bahan dari pakaian yang kita pakai?” Ngadyo hanya diam mendengarnya, ia tahu itu bukan pertanyaan yang butuh jawaban. ”Semua memiliki efek terhadap diri kita pak.”

”Kalau anda tahu, pakaian yang kita kenakan,” Salim menunjukkan pakaian yang dikenakan, ”dapat menghindarkan diri kita dari perbuatan tercela. Misal saja, saya yang mengenakan pakaian gamis seperti ini, tidak mungkin akan pergi ke bioskop, hampir mustahil untuk berbuat jail, dan akan berpikir untuk melakukan hal-hal yang ganjil. Sebaliknya, ketika saya berpakaian seperti orang-orang yang katanya modern yang biasa mereka dikenakan, saya bebas melakukan apasaja. Saya tak perlu berpikir panjang untuk berbuat jahat. Dengan kata lain, pakaian selain menjadi identitas diri, juga bisa menjaga sikap kita.”

Tamat Salim berucap, ia dikejutkan oleh lelaki berparas cakap, tapi hampir tak bersikap. Lelaki tadi melintas di antara Salim dan Ngadyo bicara. Setelah melewati keduanya, lelaki itu menunjuk wajah Ngadyo dan Salim. Ia berbicara lantang, bahkan bisa dikatakan berteriak. Yang lebih mengherankan, lelaki itu mengenakan pakaian yang tidak seperti pakaian. Berwarna sama dengan warna kulitnya. Bahannya pun mungkin sama. Hampir-hampir Ngadyo meneriakkannya orang gila, yang bugil tepatnya. Tapi ia sadar kalau ia bugil, tentunya ada benjolan di badan.

Segera ia menenangkan orang itu, dan menyentuh tangannya. Ngadyo kaget karena ternyata lelaki itu ternyata berpakaian.

”Apa maksud anda menarik-narik baju saya. Heran ya? Baru lihat ya? Mau ya? Ini pakaian impor yang tidak mungkin ada yang menjualnya, kecuali melalui pesanan. Jika semua orang mengenakan pakaian ini, pasti tidak ada lagi pertentangan di antara kalian!”
Salim dan Ngadyo semakin penasaran. Mereka tak tahu maksud ucapannya. Malah yang ada hanya keluh kesah, semakin menambah rasa heran.

Seakan tahu isi hati, lelaki tadi berkata teratur rapi, ”kalian tak usah susah payah, tak perlu mengeluh, heran, penasaran dan segal macam. Aku pasti memberitahu kalian. Dengar,” mukanya dimajukan ke hadapan Salim dan Ngadyo, ”bukan zamannya lgi mendebatkan pakaian, apalagi pakaian-pakaian kuno seperti milik kalian. Sekarang zamannya berpakaian seperti yang aku kenakan.”

”Maaf tuan, kalau boleh tahu, pakaian anda itu sepertinya dari kulit?”

”Wauw!!! Baru ada orang yang bisa menebak dengan tepat pakaianku ini. Ya, betul! Aku memakai pakaian dari kulit, kulit yang paling mahal di dunia. Kalian tahu kulit apa? Kulit manusia!”

Respon keduanya berlawanan. Salim merasa sangat kejutkan dengan ucapan si lelaki, sedangkan Ngadyo biaso-biaso sajo. ”Telanjang dong!” cetus Ngadyo.

”Masya Allah! Anda jujur dengan ucapan anda?” Salim menambahkan.

”Kalau kalian ada yang minat, bisa saya bawakan bahannya, bahkan kalau mau bisa saya bawakan mentahnya supaya kalian pecaya kalau ini adalah pakaian kulit manusia. Lihat,” lelaki itu menunjukkan lengan bajunya, ”yang ini terbuat dari kulit perempuan muda, agak lembut dari bagian yang lain. Meski sebagian besar yang saya kenakan ini dari kulit bocah balita, tapi untuk mendapatkan variasi yang menarik aku mengambil beberapa bagian pula dari kulit berusia beda.”

”Dari mana kau dapatkan begitu banyak kulit-kulit yang kau jadikan bahan pakaian itu?” Mata Salim melotot, meski Ngadyo menganggapnya berlebihan.

”Saya punya kawan seorang tentara. Dia bukan orang Indonesia, tapi orang Israel yang bertugas di Palestina. Aku mengenalnya di messenger. Beberapa minggu yang lalu, ia menawarkan saya bahan pakaian yang bagus. Katanya bahan pakaian itu tidak ada yang menyamai halus, melebihi kain sutera India. Ia menawarkan sejuta per meternya. Ketika ia bilang kalau bahan itu kulit manusia, awalnya saya ragu juga. Tapi apa salahnya mencobanya. Saya pun memesan sepuluh meter saja, tujuh meter kulit manusia dewasa, dan sisanya balita. Ia pun mengirim seminggu setelahnya. Tanpa menunggu lama, saya pun segera menyuruh istri untuk menjahitnya. Inilah hasilnya...” Lelaki tu menyeringai bangga mengenakan pakaian berbahan kulit manusia.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah

Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah
Heather Sutherland

Sejarah adalah sebuah bidang ilmu yang banyak dikembangkan di berbagai negeri
oleh berbagai suku bangsa.

Dalam Concise Oxford Dictionary edisi 1964, sejarah adalah catatan terus menerus secara sistematis tentang kejadian-kejadian dalam masyarakat; kajian perkembangan Negara; rangkaian kejadian yang berkaitan dengan Negara, orang ,benda dan sebagainya. Di satu pihak, sejarah berarti catatan, dan karena itu berarti kajian masa lalu. Di pihak lain, sejarah juga berarti rangkaian kejadian, terutama dalam kaitan dengan bangsa. Jadi, sejarah dapat berarti ’apa yang terjadi menurut kata kita’, dan apa yang sebenarnya terjadi.
Sejarah menurut konsep pertama ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Sejarah menurut konsep kedua berarti keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya. Pda umumnya disepakati ahwa satu-satunya bentuk ’sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang dinamakan Modern Profesional History (Sejarah Profesional Modern/SPM)
Dengan struktur negara modern sebagai bentuk politik yang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi Historiografi Eropa ini menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah nyata. ’Sejarah Nyata’ adalah rekonstruksi dari apa yang sebenarnya terjadi dan biasanya disusun menurut negara bangsa yang mencerminkan prioritas dan nilai-nilai kelompok elit pemegang kekuasaan negara.
SPM yang baru ini ditandai oleh narasi besar (grand narative). Nearasi besar adalah seuah narasi dominan yang menampilkan sejarah sebagai kemajuan yang berpuncak pada kejayaan modernitas negara-bangsa. Narasi besar SPM bersifat teologis dalam arti ia menyajikan semua bergerak ke satu tujuan tetentu, sebagai perkembangan dari hal yang sederhana dan tidak sempurna ke hal yag kompleks, rasional, dan efisien. Francis Fukuyama sehingga mengatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet sebagai pertanda dari akhir sejarah karena jika model demokrasi pasar bebas Barat, atau Amerika, telh menjadi pola yang diterima seluruh umat manusia, maka sejarah sudah hampir sampai pada tujuan akhirnya.
Samuel Huntington mengatakan bahwa dinamika utama sejarah merupakan ’pertarungan peradaban’, ketika masyarakat yang lain menanatang dominasi Barat.
Ada dua dimensi bagi penulisan sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Pertama, di tingkat yang lebih umum, kita pusatkan perhatian pada persoalan-persoalan teroretis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Beberapa penulis sudah mulai mengatakan bahwa sejarah lebih dekat dengan sastra daripada dengan ilmu pengetahuan, dan tidak ada satu interpretasi yang lain. Pemikiran ini terkait dengan perdebatan yang leih luas yang menjadi ciri tahun 1960-an dan 1970-an, ketika gerakan anti perang Vietnam dan perujuanga hak-hak sipil, feminisme, dan kebebasan individu muncul menentang hierarki yang sudah mapan.
Perdebatan ini membentuk konteks intelektual bagi dimensi kedua yang leih diwarnai unsur politik dengan fokus pada hubungan antara sejaranh dengan kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial. Banyak sejarawan yang tidak berminat mengetahui sebab musabab dan dampak sosial dari produksi dan konsumsi historiografi. Dan mereka menganggap tidak perlu menyelidiki begaimana sejarah tercipta dalam konteks teori atau politik yang lebih luas. Atau dalam arti lain mereka tidak menguji sejarah penulisan sejarah. Terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional, maka sejarah adalah bidang ilmu yang paling tinggi kadar politiknya.
Aspek pembahasan di bawah mencakup persoalan yang sudah tidak asing tapi elum teratasi yakni Eropasentris dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pascakolonial. Pemikiran Barat mengenai sejarah sudah tertanam dengan dalam di berbagai sudut dunia melalui sekolah-sekolah kolonial dan wacana global.
Persoalan di atas mengandung aspek epistemologi dan politik. Epistemologi adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan: bagiamana kita mengetahui sesuatu dan apa hubungan pengetahuan dengan kebenaran dan keyakinan? Dimesi politik menyangkut hegemoni.
Peranan SPM adalah bagian dari hegemoni budaya Barat yang menekankan demokrasi, kekuasaan negara, dan modernisasi.

Peranan Negara
Penulisan SPM berkembang secara simbiosis dengan negara, dan selalau berkaitan erat dengan politik. Pemerintahlah yang memberikan subsidi dan mempromosikan sejarah nasional, karena sejarah nasional terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional.
Hampir di semua negara (pasca) kolonial, termasuk Indonesia, ’kemerdekaan politik’ pada dasarnya terdiri dari pengalihan aparatur negara dari tangan kelas golongan Eropa yang menjadi penguasa sebelumnya ke para pemimpin lokal yang dibentuk dalam masyarakat kolonial. Versi arus utama Belanda mengenai sejarah Hindia-Belanda mengagung-agungkan pasifikasi dan kemajuan. Sealiknya, narasi nasionalis berpusat pada perjuangan untuk mewujudkan negara demokrasi sekuler yang berakar dalam identitas bersama. Hal yang dilukiskan sebagai keburukan (kejahatan atau fanatik) dalam narasi Belanda menjadi kepahlawanan dalam versi nasionalis (perjuangan tanpa pamrih). Namun, fokus utama tetap sama, yakni negara dan pengalaman kolonial. Sebagaimana Belanda, ’kaum nasionalis juga mencarai legitimasi dengan cara menjanjikan pembangunan’.
Jalan yang ditempuh Eropa Barat menuju modernisasi merupakan model umum bagi elit nasionalis Indonesia. Kekalahan gerakan-gerakan alternatif, baik Islam maupun kiri, juga berarti tersisihkannya narasi sejarah mereka. Menurut Reid (1974), revolusi politik melawan Belanda berhasil, tetapi revolusi sosial mati seelum lahir.
Sementara narasi-narasi resmi mendukung negara dan kaum elit, komunitas-komunitas tertentu dan berbagai kelompok dalam masyarakat sering melestarikan narasi tandingan yang subversif terkandung (misalnya) dalam ingatan suku minoritas atau dalam tradisi-tradisi politik yang terlarang. Memaksakan pandangan monolitik mengenai masa lalu dan sanggahan terhadapnya, mau tidak mau akan menciptakan ketegangan.
Meskipun dimensi agama Islam dalam Perang Padri atau Perang Aceh sangat penting, tetapi prioritas nasionalis mengharuskan kedua perang itu ditampilkan terutama perjuangan anti penjajahan. Pentingnya identitas lokal adalah faktor lain yang juga tidak disinggung dalam narasi nasional.
Politik selalu membentuk konstruksi sejarah. Ciri ini biasanya sama-sama dimiliki oleh narasi tradisional dan modern. Narasi tradisional mungkin saja amat berbeda dengan narasi modern dari berbagai segi yag lain seperti bentuk dengan warna jelas berwarna sastra, bertujuan moral, termasuk tema yang bersifat mitos dan agama, serta konsep berdasarkan waktu yang tak linear. Namun, sejarah yang dominan cenderung menjelaskan dan meneguhkan, dan bukan mempersoalkan, perimbangan kekuasaan yang ada.. dalam kasus Indonesia, narasi lama kolonial Belanda megenai pasifikasi dan modernisasi sekarang tampaknya sudah merupakan peninggalan usang, dan narasi nasional mengenai kemerdekaan dan pembangunan juga nampaknya sudah kehilangan dayanya untuk membangkitkan semangat.
Agak diragukan apakah narasi-narasi Islam dan kiri yang disingkikan dapat muncul kembali sebagai tema-tema utama. Akan tetapi bukan tidak mungkin. Ide emansipasi sosial penting dalam pemikiran nasionalis awal namun dengan segaja telah dihilangkan warna politiknya oleh negara dan dinodai oleh tindakan menyimbolkan kaum kiri seagai iblis tahun 1965. tuduhan sebagai penganut ekstremisme sering digunakan untuk menghancurkan oposisi moderat, dan wacana radikal Islam atau sosialis tidak ditolerir.
Jika tidak ada narasi besar, maka negara dan masyarakat yang lebih kecil mungkin semakin tidak berdaya menuntut tempat dalam sejarah untuk dirinya. Selain itu juga sangat mungkin bahwa narasi besar yang baru ternyata tidak setoleran dengan narasi besar yang lama.

Modernitas, Tradisi dan Budaya
Modernitas sering dirunut dari akarnya pada zaman pencerahan yang mulai pada abad ke-16 di Eropa yang menekankan skeptisisme intelektual dan kekuatan nalar. Rasa tidak puas dunia (disenchantment of the world), yanin ketka umat manusia beralih dari perspektif yang pada dasarnya perspektif keagamaan ke perspektif yang berpusat pada manusia. Otoritas terletak pada pengetahuan rasional, kalender dan jam menjadi pengatur waktu, perubahan dilakukan demi kegunaan dan kemajuan bukan demi keselamatan.
Dunia pascamodern yang muncul pada paruh kedua abad ke-20 dialamai sebagai dunia tanpa arah, atau koherensi dengan ciri-ciri, penolakan hierarki, fragmentasi masyarakat dan ingatan kolektif, dan menjamurnya alteratif tanpa nilai yang jelas. Baik modernitas dan pascamodernitas adalah ide-ide abstrak, bukan realitas sosial dengan garis batas yang jelas; sama halnya dengan tradisi. Budaya tradisional didefinisikan memiliki pandangan hidup yang tidak ideologis, bukannya menekankan kemajuan dalam arti bergerak meninggalkan masa lalu dan menuju masa depan; awal sejarah dilihata sebagai periode di mana makna dan niai diletakkan, yang kemudian menjadi dasar dari segalanya setelah itu.
Modernitas ditandai oleh kemajuan, sedangkan tradisi oleh pelestarian. Jika perubahan dirasakan sudah tidak terkendali, orang mungkin akan semakin bergantung pada tradisi. Jadi, masyarakat yang mengalami perubahan sangat cepat, atau elite yang kehilangan tempat atau tercerabut dari akarnya, mungkin merindukan rasa aman yang dihasilkan tradisi yang diidealisasikan sebagai cara untuk melepaskan diri dari kekacauan modernitas.
Menurut Patrick Manning, sebelum tahun 1960-an ’budaya’ dilihat sebagai kesatuan yang dapat diidentifikasikan, sebuah keseluruhan yang kompleks dari keyakinan-keyakinan, lembaga-lembaga dan artefak-artefak, yang koheren, bergaris atas, dan secara internal homogen. Namun pada tahun 1990-an hal yang ditekankan bergeser ke proses produksi dan transformasi budaya;
Definisi lama bersifat positivis. Dalam kerangkanya, kita dapat mencoba mengenali garis-garis batas unsur-unsur budaya, melihat dampak berbagai faktor atas budaya atau faktor-faktor yang menentukan perubahan budaya. Definisi baru bersifat post-modernist yangmenekankan sifat yang tidak menentu dan bukan sebab-akibat, menekankan perubahan sebagai pola umum dan ukan sebagai pengecualian. Apabila kerangka lama berfokus pada upaya mencarisebab-akibat, kerangka baru berfokus pada pada upaya mengidentifikasi situasi saling tergantung.

Pada masyarakat modern, paparan sejarah disampaikan dalam berbagai bentuk, dari kurikulum sekolah yang ditetapkan oleh negara, museum dan upacara hingga cerita bersambung televisi, lelucon, dongeng, nama jalan, dan genealogi.

Pascamodernisme (Post-modernisme)
Penekanan pada pergeseran dan sifat sesuai dengan keadaan contingent dari budaya adalah bagian dari perubahan intelektual yang sama yang menciptakan pascamodern. Salah satu pergeseran penekanan yang paling penting ialah pergeseran ide dari sejarah sebagai ilmu pengetahuan ke produk budaya.
Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure if Scientific Revolution (1962) mengembangkan ide paradigma, yakni seperangkat asumsi bersama yang menentukan cara kita melihat dan menafsirkan dunia. Apabila setiap orang sepakat bahwa perempuan terlalu histeris sehingga tidak mampu menetapkan pilihan yang rasional, maka tidak ada tempat lagi bagi emansipasi kaum perempuan.
Jacques Derrida, ia mengembangkan teori dekonstruksi menjelang akhir tahun 1960-an. Teori ini merupakan pendekatan baru pada cara membaca teks yang khas dari linguistic turn dalam historiografi pascamodernis yang menyingkapkan hubungan antara bahasa, kekuasaan, dan hierarki.
Sejak tahun 1950-an dan seterusnya, aliran-aliran intelektual dalam filsafat, teori budaya, sastra dan politik, membantu untuk membentuk ide-ide baru mengenai bagaimana sejarah dihasilkan dan digunakan. Ide-ide Michel Foucault tetang wacana eksklusi, representasi dan hubungan antara bahasa da kekuasaan, menjadipenting sekali pada tahun 1970-an. Teori kritis mengenai pikiran atau arkeologi pengetahuan menyelidiki proses membungkam dan meminggirkan, dan bagaiman ketimpangan dihasilkan dan disembunyikan.
Pada tahun 1973 Hayden White menerbitkan Metahistory: The Historical Imagination in The Ninetheenth Century in Europe. Ia mengatakan bahwa sejarah adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensi-konvensi estetika dan lebih dekat ke bidang sastra daripda ke bidang ilmu pengetahuan. Kalangan sejarawn professional yang merasa terancam protes ketika dihadapkan pada tafsir-tafsir sejarah menurut postmodernisme. Hal ini bukan karena penganut pascamodernisme menyangkal bahwa sejarawan dapat menghasilkan kebenaran ojektif mengenai masa lalu, karena setiap sejarawan menyadari. Bahwa narasi sejarah adalah rekonstruksi yang tidak sempurna dari masa lalu yang disusun dari kepingan-kepingan bukti. Oleh karena itu, sejwaran pada umumnya tidak menemui kesulitan dengan pasca modernisme, yakni menekankan bahwa kejadian yang sama dapat dieri makna berbeda.
Namun,biasanya penganut pascamodernisme menyangkal bahwa suatu makna lebih baik atau lebih benar daripada makna yang lain. Hal inilah yang menyebakan sejarawan tradisional marah. Mereka percaya meskipun sejarah merupakan hasil konstruksi tetapi metodologi yang mereka gunakan adalah cara rasional untuk mendekati realitas masa lalu sedekat mungkin.
Sementara sejarah sebagaimana produk budaya lainnya masih dapat menjelaskan kondisi manusia, tidak lagi dapat pengakuan sebagai pemilik pengetahuan yang memiliki otoritas mengenai masa lalu. Titik pandang semacam itu menandai akhir dari sejarah karena sejarah hanya menjadi sejenis sastra yang divalidasi oleh gaya, bukan oleh metode. Sudah jelas bahwa ide positivis abad ke-19 bahwa sejarah objektif dapat direkonstruksi melalui pengamatan empiris, pengukuran dan deskripsi, pada umumnya telah ditinggalkan. Para penganut pascapositivisme telah menjadikan berbagai pandangan dari yang ekstrem, yakni subjektivisme murni (semuanya ada dalam pikiran), hingga konstruktivisme (dibentuk dalam konteks).
Sebagian besara sejarawan dipengaruhi perspektif pascamodernisme. Mereka menolak subjektivisme radikal. Antara subjektivisme dan rekonstruktivisme ada realisme kritis pragmatis yang lebih luas diterima. Realisme kritis pragmatis mengatakan bahwa meskipun sejarah dikonstruksi tetapi konvensi-konvensi penelitian yang telah teruji dapat menyingkapkan kebenaran mengenai masa lalu betapapun tidak lengkap.
Sejarah tidak lagi menjadi wilayah milik eksklusif elite kaum laki-laki berkulit putih. Perdebatan yang kadang-kadang pahit mengenai pascamodernisme terkenal dengan nama perang sejarah. Semua ini merupakan bagian dari perang yang lebih besar, yakni perang budaya yang memainkan peran semakin jelas dalam politik Barat. Bagi kaum konservatif, cara pandang relativisme dalam sejarah dianggap sebagai gejala kebodohan politik atau ekstermisme atau bahkan kelemahan moral. Kecuali baru-baru ini pemerintah Perancis dan Amerika mulai memperjuangkan pandangan positif mengenai masa lalu nasional. Ini hal yang mengingatkan kita pada peranan penting hubungan sejarah dan kekuasaan. Arangkali ironis bahwa orang-orang yang paling khawatir mengenai pergeseran perimbangan politik dalam bidang ilmu itu juga orang-orang yang paling gigih membela sifat ilmiah dan objektif sejarah.

Sejarah Sebagai Ilmu Pengetahuan?
Metodologi penelitian dan penulisan sejarah modern menegaskan rasionalitas universal ilmu pengetahuan. Meski klaim sebagai ilmu pengetahuan sangat penting bagi otoritas SPM, ternyata sedikit sekali perhatian yang dicurahkan pada metodologi. Meskipun sejarawan menghargai dasar-dasar pertama dari metode ilmiah (pengamatan dan deskripsi), mereka biasanya mengabaikan langkah-langkah berikutnya, yaitu merumuskan dan menguji hipotesa.
Bagi peneliti, langkah-langkah yang khas alam menjalankan suatu proyek aalah mula-mula menciutkan fokus secara perlahan, yakni bergerak dari tema ke topik ke pertanyaan dan ke hipotesa, meskipun hipotesa tidak selalu dirumuskan secara eksplisit.
Jka analisis tentang kapak di Papua menghasilkan kesimpulan umu yang dapat diuji mengenai teknologi dan perubahan sosial sehingga dapat dipakai sebagai model untuk melakukan analisis terhadap masyarakat yang lain maka model itu bisa menjadi sebuah teori. Menurut definisi Manning, teori adalah:
...seperangkat asumsi dan kesimpulan logis yang mengaitkan seperangkat variabel satu sama lain. Teori menghasilkan ramalan-ramalan yang dapat dibandingkan dengan pola-pola yang diamati. Di dalam kerangka teori itu dapat dirumuskan berbagai hipotesa mengenai variabel-variael tertentu dan dapat diuji apakah hipotesa-hipotesa itu cocok dengan data yang diamati. Secara lebih luas, jika data empiris menunjukkan pola-pola yangsecara konsisten berbeda dengan teori tersebut, maka sebuah teori yang baru dapat dirumuskan (Manning, 2003:137)

Penerapan teori dalam arti kata yang sempit (dengan kemungkinan bagi klasifikasi, verifikasi dan prediksi) menjadi sulit apabila kita berhadapan dengan variabel kuantitatif.
Elemen penting lain dalam cara kita menulis sejarah adalah penggunaan tipologi. Menurut Manning:
Tipologi adalah sebuah klasifikasi atas fenomena. Tipologi adalah terminologi yang tersusun rapi. Ia mencakup pembagian dunia ke dalam masyarakat beradab dan orang biadab, atau ke dalam kelas sosial dan kelas elit. Pembagian waktu ke dalam zaman kuno, abad pertengahan, adan abad modern adalah tipologi, dengan demikian halnya pembagian-pembaigan sistem dunia ke dalam pusat, semi periferi, dan wilayah-wilayah luar.tipologi digunakan untuk menggamarkan kategori-lategori umur, gender, keluarga dan bidang-bidang seni.

Kategori cenderung bersifat unidimensional karena kita mengasumsikan bahwa kategori-kategori tersebut memiliki isi yang seragam dan batasan yang jelas. Selain itu, kategori sering disusun ke dalam hierarki; satu kategori dinilai lebih tinggi atau dianggap memiliki kemampuan yang lebih besar daripada kategori lainnya.
Penggunaan kategori etnis dan agama secara ceroboh dapat menyesatkan bahkan merusak. Faktor etnisitas diberi nilai penjelasan yang lebih tinggi daripada faktor ekonomi. Hal ini cocok sekali dengan retorika populis karena itu tipologi atas dasar etnisitas sangat disukai politisi.
Satu perangkat kategori identitas simplistis lain berkaitan dengan analisa oposisi antara daerah di satu pihak dan nasional Indonesia di pihak lain. Sejarah pergerakan nasionalis dan revolusi sering menyiratkan bahwa identitas lokal telah digantikan ke-Indonesiaan. Padahal dalam kenyataannya dimensi nasional aru ditambahkan kemudian pada identifikasi yang sudah ada dan kompleks sifatnya. Namun, krisi politik di Indonesia pada tahun 1950-an biasanya ditampilkan sebagai pemberontakan daerah melawan pemerintah pusat ketika kategori geografi atau bahkan etnis diberi makna kausalitas. Pada kenyataannya konflik terjadi antara kaum elit di tingkat yang berbeda dalam upaya menegosiasikan sumber daya. Pemimpin-pemimpin daerah mengkhawatirkan (berkurangnya) pengaruh mereka terhadap kebijaksanaan nasional dan sebaliknya pemerintah pusat ingin memastikan agar dapat masuk ke ekonomi lokal.
Perangkat kategori tidak hanya penting bagi analisis akademis, tetapi juga bagi mobilitas ekonomi, praktek birokrasi dan kehidupan sehari-hari. Kategori yang digunakan oleh berbagai lembaga sering bersifat menentukan dalam membentuk peluang masuk ke sumber daya seperti tanah, pekerjaan, pendidikan, status dan ke pucak sukses.
VOC misalnya mengelompokkan penduduk berdasarkan agama atau pekerjaan. Pengelompokkan penduduk pada abad ke-19 lebih terfokus pada etnisitas, yaitu Eropa, pribumi atau Timur Asing (China dan Arab). Sejak abad ke-20 orang Jepang dimasukkan ke dalam kategori Eropa karena alasan politik. Setelah kemerdekaan, garis batas mendasar ditarika antara warga negara dan bukan warga negara.
Pengkategorisasian semacam itu dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat mendalam, meskipun baik secara akademis dan diperlukan untuk pemahaman, namun dalam konteks tertentu, ketegangan antara kategori an isi bisa amat tajam. Dapat dikatakan karena ada persamaan yang tampaknya mencakup seluruh dunia antara negara modern dan kota modern, maka menjadi terllau mudah untuk mengasumsikan bahwa adanya persamaan yang mendasar membuat kita tidak melihat perbedaan yang cukup besar di dalamnya.

Sejarah yang berbeda, masyarakat majemuk, dan dunia yang menyatu
Ada dua hal yang berkaitan satu sama sama lain; pertama, keterkaitan sejarawan dengan narasi-narasi marginal tentang masa lampau dalam msyarakat mereka sendiri dan dengan fungsi sosial sejarah. Kedua, yang tidak dapat dipisahkan dari hal yang pertama ialah hubungan sejarawan dengan SPM. Dua persoalan ini berkaitan dengan apa yang dinamakan kekuasaan budaya yang hegemonis (hegemoni cultural power), yakni kekuasaan elit terhadap masyarakat luas dan kekuasaan tradisi Barat dan tradisi-tradisi yang lain.
Sejarawan modern merupakan bagian dari kaum elit kota terdidik dan tersubsidi pemerintah. Mereka juga sering berperan sebagai kritikus paling tajam tehadap pemerintah beserta kebijakannya. Karena latar elakang mereka, asumsi-asumsi mereka cenderung dibingkai dalam paradigma yang berorientasi kepada negara dan modernitas yang sama dengan asumsi-asumsi kaum politisi.
Meskipun pascamodernisme menciptakan ruang bagi kemajemukan suara sejarah, tetapi sebagian besar sejarawan profesional tetap realistis, pragmatis, dan kritis. Narasi-narasi orang asli ditimba bila perlu. Namun narasi-narasi ini hanya diberi nilai, pertama, sejauh mereka memberi suara otentik yang memberikan gambaran sepintas tentang masa lampau yang telah hilang. Kedua, sebagai sumber untuk sebagai bahan ilustrasi ketika anekdot dicabut dari konteks da dimasukkan ke dalam sebuah SPM.
Klise yang berunyi bahwa sejarah itu penting sudah cukup banyak. Klaim yang sering terdengar ialah dengan memahami masa lampau maka kita dapat terhindar untuk melakukan kesalahan yang sama dehingga dapat mewujudkan masa depan yang lebih baik. Hal ini mencerminkan keyakinan yang khas modern (bukan post-modern) pada kekuatan nalar untuk mewujudkan kemajuan. Keyakinan semacam itu membutuhkan kebenaran tunggal dan penolakan terhadap versi-versi lain mengenai masa lalu. Keharusan yang absolut bahwa hanya ada satu realitas inilah yang menyebabkan kritikus melihat SPM sebagai penyebab sikap tidak toleran.
Dipesh Chakrabarty mengajukan argumen yang kokoh untuk melihat Eropa sebagai salah satu bagian saja dari sejarah dunia. Inti pandangannya adalah Eropa (Barat) bukanlah pusat dunia yang mau tidak mau harus diterima atau sebagai tolak ukur untuk menilai semua masyarakat. Demikian pula dengan Ashis Nandy yang merasa bahwa sejarah Barat yang mengaku dirinya sebagai pemilik otoritas unik ilmu pengetahuan telah menghancurkan kemungkinan bagi pluralisme, kemajemukan, karena mendorong sentralisasi politik dan budaya.
Nandy mengecam penghancuran fleksibilitas yang melekat dalam persepsi-persepsi terdahulu mengenai masa lalu. Bahkan ia mungkin sependapat dengan optimisme Hayden White bahwa pascamodernisme dapat menangkao kembali toleransi yang telah hilang. Moses mengatakan bahwa kewajiban sejarawan pada masyarakat ialah membuat rumusan yang jernih dari kebenaran-kebenaran yang tidak populer, bukan merumuskan relativisme kabur yang dapat disalahgunakan untuk mendukung tidak-tindak kekerasan seperti pembunuhan massal.
Perubahan nasib tidak diragukan lagi akan melahirkan sejarah-sejarah lain yang menekankan hubungan yang lain. Sebab itu, barangkali menekan bangkitnya modernitas alternatif yang lain. Bahkan dapat dikatakan bahwa kesibukan dengan Eropasentrisme itu sendiri demikian berorientasi Eropa sehingga menjadi tidak relevan. Jika disepakati bahwa modernitas adalah proyek global yang lahir dari interaksi, maka tidak ada orang yang memilikinya. Modernitas non-Barat bukanlah turunan dari modernitas Barat atau kurang otentik darinya.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Di Balik Makna Kentut

Basir heran menyaksikan keadaan kampung halamannya. Sepuluh tahun lebih ia tinggalkan merantau ke kota. Dan sekembalinya dari kota, situasinya sudah berubah. Pepohonan di kebun-kebun lahan kosong tak lagi rindang, malah sekarang berdiri bangunan besar, berbentuk balok. ”Pabrik peleburan timah, mas!” jawab pemuda yang ditanyanya.
Yang membuatnya lebih mengherankan lagi, hampir tak ada seorang pun yang mengenalnya, kecuali pak Kasan yang sering dihinanya ketika masih tinggal di kampung. ”Basir, pie kabarmu? Lama sekali gak menengok rumahmu. Apa kau tidak rindu sama kakek dan nenekmu?”
Intonasinya tidak mencirikan rasa dendam, bahkan penuh kearifan. ”Alhamdulillah pak, kulo sae-sae mawon.Sampean pripun kabare?” Basir menjawab sekenanya dengan bahasa ibu yang masih diingatnya. Tangannya menjabat pak Kasan yang kekar, maklum tangan petani. ”Sae.Apa kamu tidak rindu keluargamu?” Tangan yang biasa digunakannya mencangkul ditepukkan di pundak Basir.
”Itulah alasan saya pulang, rasa rinduku mengalahkan kepentingan pekerjaanku sehingga terpaksa aku tinggalkan.” Diplomatis. Layaknya seorang birokratis. ”Maaf pak, saya harus menemui kakek-nenek saya dulu...” refleks bapak tua itu mempersilahkannya.
*
Rumah tempatnya dibesarkan masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah kecuali cat rumah yang sudah kucel. Mengingatkannya ia ketika mengecatnya bareng kakeknya. Kakeknya tak berhenti bercerita mendongeng sembari mengecat. Dibuka dengan cerita tentang pasangan suami-istri yang menjual anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Persetubuhannya hanya dijadikan alat untuk melahirkan anak yang akan dijualnya.
Setelah itu dilanjut dengan kisah seorang anak yang hidup sebatang kara, yang hidupnya dihabiskan di jalanan dengan mengecrik tutup-tutup botol minuman bersoda, menodongkan tangan di kaca-kaca mobil. Dan setelah tumbuh dewasa ia menjadi bupati, yang dengannya ia mengetuk jendela-jendela budaya untuk dijualnya, dan hidup di sana.
Basir juga masih ingat betul bagaimana kakeknya berkelakar seputar preman-preman perempatan jalan samping terminal. Katanya, preman-preman itu hanya pembual saja. Mereka sering merompak para pejalan kaki, atau siapa saja yang kebetulan sial karena ada operasi. ”Kamu tahu tidak untuk apa mereka merampok?” Tanya kakeknya.
”Untuk makan kan?” Polos Basir.
”Pintar! Cucu kakek memang pintar. Tapi kamu tahu siapa yang memakan uang hasil palakannya?!” Ia tak memberi kesempatan pada cucunya untuk berpikir dan kemudian menjawab, tapi ia sendiri yang menjawabnya. ”Untuk dimakan si korbannya!”
Ya, mereka bukan memalak sebenarnya. Tapi mereka mengajarkan pada korbannya untuk lebih memperhatikan keadaan si sekitarnya, mendidik untuk lebih peduli dengan para pengangguran. Tak jarang mereka meminta saran pada para korbannya tentang masa depan mereka. Sehingga datang seseorang yang jadi korbannya membukakan mereka lapangan pekerjaan. Dan sekarang preman-preman itu menjadi pengatur jalan berseragam.
Memori masa silam yang indah. Sekarang itu tinggal kenangan. Warna dindingnya tak sekilau dulu. Sekarang kusam. Sekusam pak Kasan yang setiap hari berjemur di tengah sawah dan hanya ditemani cangkul dan segelas teh.
Rasa herannya belum berhenti. Ia kembali diherankan oleh kakek-neneknya. Fisik mereka telah jauh berubah. Mungkin lima puluh persen berat badannya turun dibanding sepuluhan tahun silam. Tak kuasa untuk menitikkan airmata, airmata yang baru keluar dari matanya selama lebih dari sepuluh tahun. Airmata yang terakhir dikeluarkannya ketika ia meninggalkan mereka. Dan airmata itu ingin menyaksikan pertemuan kembali Basir dengan kakek dan neneknya. Begitupun dengan keduanya.
Tak mampu mereka mengeluarkan kata-kata. Bagi mereka pertemuan ini terlalu berharga untuk berbicara. Hanya ketukan sendu dan isakan yang mengiringi. Tangis, tangis, tangis, tangis, dan tangis. Lalu tanya.
”Kamu sehat-sehat saja, nak? Kami selalu menunggu kepulanganmu”
”Terimakasih nek. Tapi, apa yang terjadi sama nenek dan kakek?” Mereka buru-buru mengusap airmata. Tak ingin memperlihatkan kesedihan. Dan semua berganti dengan senyum. Senyum yang sepuluh tahun lebih tertidur.
Sementara Basir bernostalgia dengan kakeknya, nenek membuatkannya wedang teh. Khas kampungnya, malah mungkin khas daerahnya. Dalam perbicancangannya, Basir berhasil memancing kenangan dari kakeknya. Seakan ia berada pada masa sepuluh tahun silam. Kelakar dan cerita tentang sejarah masa silam maupun sekedar mendongeng.
Dhudd.... suara kentut khas kakeknya keluar. Kebiasaan yang sudah dikenal sejak ia dibesarkan dulu. ”Aduhh,, sayang sekali. Lupa kakek nggak bawa plastik.” Wajah penyesalan begitu kental tergambar.
”Untuk apa, kek?” Heran Basir. Heran tak henti-hentinya mewarnai kepulangannya di kampung halamannya.
”Untuk menyimpan kentut kakek!” Sontak Basir terbahak-bahak. Ternyata kehangatan keluarganya masih melekat. Canda tawa yang hilang selama dalam perantauan, ia ditemukan kembali di kampung halaman.
Kakeknya hanya tersenyum sipu. ”Kakek bisa saja.”
Bunyi langkah kaki yang mengiringi nenek masih dihafalnya. Kedua tangannya menodongkan nampan yang berisi tiga gelas wedang teh hangat, dan sepiring boled rebus. Yang ini pun hilang dalam sepuluh tahun perantauannya. Dan di sini ia menemukan kembali masa lalu yang bahagia.
”Disambi yah, di kota kan nggak ada boled !” Tawar nenek pada cucu tercintanya.
“Wahh, nenek selalu tahu selera saya. Terimakasih nek.”
Neneknya menatapnya sayang. Bagai seorang yang sedang memandang kekasihnya yang lama hilang, dan kini kembali. Sesekali Basir bertabrakan pandang dengannya. Mengingatkannya wajah Azizah, kekasihnya, ketika bertatapan dengannya.
”Kakek dan nenek belum menjawab pertanyaan saya tadi. Kenapa tubuh kalian berubah sama sekali?”
Ada ketakutan di wajah keduanya. Seakan tidak ingin cucunya tahu. Dan cucunya tahu kalau ada sesuatu yang disembunyikan dari kedua. Dalam hatinya bergeming kalau keduanya habis sakit dan Basir tak dikabarinya. ”Pasti kalian habis sakit ya? Kenapa tidak bilang waktu sakit, sehingga Basir pulang menjenguk kalian?”
Bulan sabit kembali menerangi rumah mereka. Senyum-senyum lebar terhampar lagi. ”Tidak, kami tak apa-apa. Kami sehat saja.” Jawab nenek sembari menelan boled-nya.
”Syukurlah kalau betul begitu. Tapi kenapa tubuh kakek dan nenek kok berubah? Tak sesegar dulu ketika aku tinggalkan?”
”Ya wajar saja, usia kami sudah tidak muda lagi, tong!” Kakek mempertahankan bulan sabit di bibirnya. Basir mengambil sepotong boled untuk dimakannya. Sumringah merekah di wajahnya. Ia baru saja merasakan kenikmatan yang telah lama hilang, dan kini ia rasakan kembali.
Kakeknya beranjak dari perkumpulan mereka. Setelah tak dilihatnya lagi, Basir hanya mendengar suaru kentut beberapa kali, yang diselingi dengan ungkapan kelegaan dari sang kakek. Selanjutnya hanya kerosek plastik yang didengarnya, dan kakeknya kembali ke perkumpulan mereka. Melanjutkan nostalgia lama, yang mungkin tak pernah terpikir di benak mereka, terutama kakek dan nenek.
”Ayo makan yang banyak, setelah itu kau istirahat. Kamarmu sudah nenek bereskan.”
Puas dengan pelampiasan rindunya, ketiganya beranjak ke kamar masing-masing. Basir kembali diherankan. Dalam rebahnya, ia hanya mendengar suara dhad-dhud-bess dari arah kamar kakek-neneknya. Suara kentut, kemudian desahan kelegaan/kepuasan, dan kerosek plastik. Tapi, itu tak ditanggapinya serius. Yang ia tahu bahwa setelah merasakan heran yang kesekian kalinya itu, ia sudah melewati hari dan memasuki hari yang lain. Seperti biasa setiap subuh ia selalu dibangunkan neneknya untuk berjamaah. Tapi sering tidak bangun daripada bangunnya.
Wedang teh akan menemani duduk santai mereka di depan televisi. Atau di samping radio. Dan pagi itu, ia menyaksikan lagi boled yang tersaji di atas piring yang sama seperti semalam. “Ayo tong, sarapan dulu. Maklum seadanya.” Basir hanya berkerut dahi. Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres dengan kakek-neneknya. Apalagi ketika Basir melihat gelembung plastik-plastik bertebaran di lantai kamar kakek-neneknya.
Basir menanyakan menu sarapan paginya. Tapi tak ada jawab yang keluar. Hanya diam sipu di wajah keduanya. Tapi hal itu tak dibiarkan kakeknya begitu lama, dan ia segera membuka omongannya.
”Inilah makanan kami sehari-hari. Kami tak mampu membeli nasi, dan inilah makanan pokok kami sekaligus pekerjaan kami”
”Ya, kami sekarang pengangguran, usaha kami gulung tikar. Kami disapu krisis moneter 1998. Semua barang-barang berharga kami sudah ludes terjual. Kecuali rumah ini yang telah kami wariskan. Ini bukan lagi hak kami.”
”Satu juta satu bulan untuk biaya dua orang perkuliahan tak mencukupi, terkadang kami menambahkan untuk uang jajan mereka,” nenek menambahkan.
”Lalu darimana kalian mendapatkan uang, padahal kakek bilang sekarang kalian pengangguran?”
”Kami mengumpulkan kentut kami untuk kami jual ke kolektor. Dari sanalah kami bisa membeli boled, makanan pokok sekaligus mata pencaharian kami.”
”Kolektor?”
”Kolektor sumber energi alternatif!”
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS