RSS

Islam di Republik Irlandia

Republik Irlandia
Pada 29 Desember 1937, perjanjian yang mengakui kemerdekaan Republik Irlandia ditandatangani oleh pemimpin Irlandia Selatan dan pemerintah Inggris. Namun, dengan alasan tengah berlangsungnya Perang Dunia II, Inggris tidak melaksanakan isi perjanjian tersebut. Setelah perang berakhir, pada tahun 1949, rakyat Irlandia selatan yang mayoritas Katolik, mengumumkan secara resmi kemerdekaannya dari Inggris. Kemerdekaan ini berhasil dicapai setelah rakyat Irlandia selama delapan abad berjuang melawan Inggris.
Data Seputar Republik Irlandia

Ibu kota
Dublin
53°26′ LU 6°15′ BB
Bahasa resmi Irlandia, Inggris
Pemerintahan
Presiden Taoiseach Demokrasi parlementer Mary McAleese
Brian Cowen Kemerdekaan
- Proklamasi
- Diakui Dari Britania Raya
21 Januari 1919
6 Desember 1921 Wilayah
- Total
- Air (%)
70.273 km² (ke-117)
2% Penduduk
- Perk. 2007
- Sensus 2006
- Kepadatan
4.339.00 jiwa
4.239.848 jiwa
60,3 jiwa/km² (ke-139) PDB (PPP)
- Total
- Per kapita perk. 2006
US$177,2 miliar (ke-50)
US$45.600 (ke-8) PDB (nominal)
- Total
- Per kapita perk. 2006
US$202,9 milyar (ke-30)
US$50.150 (ke-5) Mata uang Euro (EUR) Zona waktu
- Musim panas (DST) UTC
UTC+1 TLD internet .ie Kode telepon +353 1. Mata uang sebelum 1999 ialah Pound.
Agama, 0,106 Islam, 3,591 Kristen Katholik, 0,126 Protestan, 65 lainnya.



Peta Republik Irlandia yang menunjukkan county. Republik Irlandia
1. Dublin
— Kota Dublin
— Dún Laoghaire-Rathdown
— Fingal
— South Dublin
2. Wicklow
3. Wexford
— Wexford (Borough)
4. Carlow
5. Kildare
6. Meath
7. Louth
— Drogheda (Borough)
8. Monaghan
9. Cavan
10. Longford
11. Westmeath
12. Offaly
13. Laois
14. Kilkenny
— Kilkenny (Borough) 15. Waterford
— Kota Waterford
16. Cork
— Kota Cork
17. Kerry
18. Limerick
— Kota Limerick
19. Tipperary
— North Tipperary
— South Tipperary
— Clonmel (Borough)
20. Clare
21. Galway
— Kota Galway
22. Mayo
23. Roscommon
24. Sligo
— Sligo (Borough)
25. Leitrim
26. Donegal



Sejarah Masuknya Islam di Irlandia
Menurut Friday's Irish Times, Muslim masuk di Negeri itu di tahun 1950 yang dibawa oleh kelompok Muslim pendatang (Turkish). Umumnya, mereka sedang melanjutkan sekolah di Universitas Irlandia. Karena tidak ada masjid di Dublin pada waktu, para siswa --kebanyakan dari Asia dan Timur Tengah-- melakukan shalat Jumatdi rumah-rumah di hal atau aula yang telah disewa.
Dengan bantuan keluarga Raja Faisal dari Saudi Arabia, Muslim Irlandia kemudian membuka masjid pertama yang juga menjadi Islamic Centre di Harrington Street Dublin tahun 1976.
Tanah dan bangunan menjadi kian sempit setelah makin banyaknya para muallaf. Maka tahun 1983, sebuah bangunan gereja yang mati di Jalan Lingkar Selatan, Dublin dibeli dan diubah menjadi masjid yang kini dikenal dengan Dublin Mosque. Tahun 1996, Pusat Kebudaan Islam di Clonskeagh dibuka. Termasuk membuka sekolah Islam, yang dibiayai oleh pengusaha asal Dubai, Syeikh Hamdan Rashid Al-Maktoum.
Akan tetapi ada yang menyebutkan bahwa Kesultanan Utsmani telah memasuki wilayah Irlandia yang sedang mengalami kelaparan tahun 1845. meski sangat memungkinkan bahwa Islam sudah lama berinteraksi dengan masyarakat Irlandia sebelumnya. Namun hal ini bisa dijadikan dasar bahwa pembawa Islam pertama kali ke Irlandia adalah muslim Turki.
Dalam ontology sejarah Islam Eropa Republika, awalnya Islam di Irlandia dihadapkan pada larangan akan eksistensi mereka oleh pemerintah setempat. Hal ini disebabkan karena semakin berkembangnya agama tersebut akibat adanya gelombang emigrasi dari negeri-negeri Afrika yang sedang didera peperangan, sehingga mereka merasa akan adanya ancaman dari Islam.
Beberapa kali pemerintah sempat berusaha mengusir mereka. Diantaranya mereka membuat pilihan kepada para Imigran muslim untuk pergi ke kampung halamannya dan dihadapkan pada peperangan dan pembunuhan atau mereka menyebar ke seluruh penjuru Irlandia agar tidak memunculkan suatu komunitas Islam di Irlandia.
Tapi kebijakan tersebut ditolak baik oleh pihak muslim dan mereka mendapat dukungan dari empat uskup Katholik kepada orang-orang Islam untuk tetap tinggal di tempat mereka tinggal sekarang. Karena keempat uskup tersebut tidak membiarkan mereka untuk menyebar ke seluruh penjuru Irlandia, apalagi kembali ke negeri asalnya karena akan berhadapan dengan penahanan bahkan pembunuhan.
Berkat dukungan tersebut akhirnya eksistensi Islam diperbolehkan di Irlandia, bahkan mereka diakui oleh pemerintahan Irlandia sehingga sekarang Islam menjadi agama terbesar ketiga di negara tersebut.

Kehidupan Masyarakat Muslim Irlandia
Seperti negara-negara Eropa lainnya, Irlandia juga termasuk dalam kelompok negara sekuler. Dan permasalahan ini selalu menjadi topik yang menarik untuk diangkat jika harus bersentuhan dengan agama Islam.
Sebagai muslim tentu mereka ingin menunjukkan identitas dirinya, selain sebagai symbol kepatuhan kepada ajaran Tuhannya. Tetapi bagaimana jika hal itu berlawanan dengan peraturan pemerintahan yang berlaku? Dan hal ini terjadi pada muslim yang berdomisili di kawasan benua Eropa, termasuk Irlandia.
Masalah jilbab adalah masalah yang paling disorot oleh masyarakat non-muslim Eropa. Boleh tidaknya jilbab dikenakan di sekolah-sekolah sedang menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat Irlandia. Perdebatan ini dipicu oleh permintaan seorang kepala sekolah kepada departemen pendidikan Irlandia akan membuat peraturan resmi untuk semua sekolah di negeri itu.
Pro kontra masalah jilbab ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika tidak dibesar-besarkan oleh media setempat. Yang ikut merasakan dampaknya adalah keluarga Liam Egam, karena pro kontra ini berawal ketika anak perempuannya bernama Shukaina Egam ingin mengenakan jilbab ke sekolah.
Keinginan Sukhaina berjilbab tidak mengalami kendala, setelah pihak manajemen sekolah Gorey Community School in Wexford, dekat Dublin mengizinkan Sukhaina mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, seperti kebanyakan sekolah menengah di Irlandia pada saat itu yang membolehkan siswi muslimahnya berjilbab asalkan warnanya sesuai dengan seragam sekolah.
Namun, kepala sekolah Sukhaina malah mempertanyakan tentang izin berjilbab itu ke Departemen Pendidikan dan meminta departemen pendidikan membuat aturan resmi yang berlaku di seluruh sekolah di Irlandia. Departemen Pendidikan Irlandia menyatakan masalah jilbab diserahkan pada kebijakan sekolah masing-masing.
Selain jilbab, bersentuhan dengan muhrim juga sempat membuat komunitas muslim Irlandia gempar. Seperti yang menimpa seorang imigran muslim dari Somalia yang bekerja sebagai karyawan di Irlandia, Ali Nur Ahmad Syaikh, tidak diberi gaji lantaran menolak berjabat tangan dengan tuannya yang bukan mahram. Dalam wawancara dengan majalah Sunday Time, tuannya (yang enggan disebut namanya) mengatakan, “Saya memberikan gaji tersebut kepada orang lain, karena Ahmad Syaikh tidak mau berjabat tangan denganku.”
Ahmad Syaikh sendiri menyatakan, sebelumnya ia telah meminta izin kepada panitia penyerahan gaji untuk tidak berjabat tangan tatkala penyerahan gaji. Ia beralasan tuannya adalah wanita, sementara ia tidak berjabat tangan dengan wanita. Menurutnya, panitia telah mengabulkan permintaannya. Namun, lima menit sebelum diumumkannya pembagian gaji, namanya tidak tercantum dan gajinya diberikan kepada orang lain.
Menanggapi kasus ini, bendahara umum Majelis Ulama di Irlandia, mengatakan, “Saya tidak percaya bila ada permasalahan lain selain karena menolak berjabat tangan. Benar, sebagian kaum muslimin ada yang menolak untuk berjabat tangan dengan para wanita. Akan tetapi, mayoritas kaum muslimin di Irlandia menerimanya.” Ia juga menjelaskan, dalam waktu dekat Majelis Ulama dan panitia penyerahan gaji akan berkumpul guna menangani kasus seperti ini.
Sekolah-Sekolah Islam di Irlandia

Di Irlandia terdapat beberapa sekolah yang khusus mengajarkan tentang Islam, baik pengajaran al-Qur'an maupun bahasa Arab untuk anak-anak muslim di sana.. Sekolah-sekolah itu antara lain: Pertama, Al-Falah Islamic School di Dublin. Kelas itu dibuka pada Jumat dan Sabtu setiap minggunya. Kedua, The Sunday Madrasa di Dublin Mosque and Islamic Centre. Ketiga, Nur Al-Huda Quran'ic School di Dublin. Kelas ini dibuka tiga kali seminggu, yaitu Jumat, Sabtu, dan Minggu. Keempat, The Libyan School di Dublin. Sekolah ini terdiri dari imigran-imigran muslim Libya. Sekolah ini mengikuti kurikulum yang diterapkan di Libya. Sekolah ini dibuka untuk anak-anak muslim Libya dan negeri-negeri Arab lain. Kelasnya dibuka pada Sabtu dan Minggu setiap pekannya. Kelima, There are a number of schools over weekends, which are attached to the Mosques in Galway, Cork, Limerick, Cavan, Waterford, Ballyhaunis, Belfast and other places.
Komunitas Muslim Irlandia
Sebagai minoritas, kaum muslimin di Irlandia tentunya memutuhkan perlindungan, baik secara moral maupun secara hukum. Dan kebutuhan inilah yang mendorong mereka membentuk suatu komunitas atau lembaga keagamaan yang dapat menjaga kelangsungan kehidupan mereka.
Berbeda dengan negara-negara yang mayoritas masyarakatnya muslim, di Irlandia tidak banyak tempat yang mereka gunakan untuk mendirikan kantor-kantor kelembagaan Islam. Untuk menyiasatinya mereka memaksimalkan fungsi masjid sebagai pusat keislaman, seperti kembali pada zaman Rasulullah. Di antara msjid-masjid yang dijadikannya pusat-pusat kajian serta perkumpulan adalah:
1. Islamic Cultural Centre of Ireland (Sunni Muslim), di Clonskeagh, Dublin. Imam: Sheikh Hussein Halawa
2. Dublin Mosque (diuruskan oleh Islamic Foundation of Ireland) di South Circular Road. Imam: Sheikh Yayha Al Hussein; Pengarah: Dr Nooh al-Kaddo
3. Supreme Muslim Council of Ireland: Sheikh Shaheed Satardien
4. Muslim Council of Ireland
5. Muslim Association of Ireland, Pengarah Eksekutif: Dr. Khaled Suliman
6. Belfast Islamic Centre, didirikan pada 1977.
7. Ahlul Bayt Islamic Centre (Shi'a Muslim), di Milltown, Dublin; dan
8. Ahmadiyya Muslim Mosque di Wellpark Grove, Galway. Diuruskan oleh Galway Islamic Society
9. Pada tahun 2003, Islamic Cultural Centre dan Foras na Gaeilge bergabung tenaga untuk menterjemah Al-Quran kepada bahasa Irish untuk pertama kalinya.
Pada September 2006 sebuah organisasi payung, Irish Council of Imams, telah ditubuhkan. Organisasi ini mewakili 14 imam-imam dalam Ireland, daripada kedua-dua kebudayaan Sunni dan Shia. Ia di pengerusikan oleh Imam Hussein Halawa (Islamic Cultural Centre of Ireland), dan naib pengerusinya ialah Imam Yahya Al-Hussein (Islamic Foundation of Ireland), dan setiausaha agungnya ialah Ali Selim
Mosque and community center in Dublin.
Source:
Islamic Foundation of Ireland
163 South Circular Road
Dublin-8
Ireland.
Tel: (353-1) 453 3242
Fax: (353-1) 453 2785

Embassy of The Republic of Ireland
Jl. Tarogong Raya No.33 Jakarta, Indonesia
Telp = 021 - 769 5142
Fax = 021 - 769 5142

Cork Muslim Women's Group

Seperti umumnya wanita-wanita lain, muslimah Irlandia juga memiliki komunitas tersendiri. Mereka adalah muslimah yang tinggal di Irlandia dan berpusat di Cork. Komunitas ini tidak didirikan untuk ajang perkumpulan semata melainkan juga bermisi menghidupkan Islam dan menjalin kekerabatan dengan masyarakat non-muslim. Banyak aktifitas yang dilakukan oleh wanita-wanita muslim irlandia, diantaranya seperti ziarah ke Blarney Castle atau Fota Wildlife Park. Selain itu mereka juga sering menggelar event-event semacam dialog public, seperti yang pernah digelar pada bulan April 2007. Yaitu “Dialog Lintas Kepercayaan” antara Sheik Abdur Raheem Green dan Fr Sean O'Sullivan.
Selain itu ada events terbaru erupa kursus motivasi bagi muslimah Irlandia yang digelar pada Sabtu, 26 April 2008 di Masjid Cork (Cork Mosque). Ada juga seminar “Muslim Women in Cork – Who are we?” pada Minggu, 27 April 2008 di Parnell Room, Victoria Hotel, Cork. Acara ini dibuka untuk umum. Bila ada keperluan, kita bisa menghubungi:
Email: corkmuslimwomensgroup.com
Phone or Text: 086-3795081
Makanan Halal

Di dalam Islam ada larangan bagi pemeluknya untuk memakan makanan yang tidak halal, seperti bangkai, darah, daging babi, serta daging yang disembelih tidak atas nama Allah SWT. Selain itu minuman-minuman yang beralkohol juga merupakan larangan untuk dikonsumsi. Hal ini dipahami betul oleh masyarakat muslim Irlandia sehingga menginspirasi untuk mendirikan toko dan rumah makan yang khusus menjual makanan halal. Di antara toko dan restauran yang menjual makanan halal di antaranya:
Halaal Food Stores Clonskeagh Mosque Shop
1. 19 Roebuck Road, Clonskeagh,
Dublin 14. Ireland
Tel: +353-1-260 3721 SCR Mosque Shop
2. 163 South Circular Road,
Dublin 8, Ireland
Tel: +353-1-453 3242
3. South Richmond Street
Dublin 2
Asia Market
4. Mary Street
Dublin 1

Halaal Restaurants
1. 19 Roebuck Road Clonskeagh,
Dublin 14, Ireland SCR Mosque Restaurant
2. 163 South Circular Road,
Dublin 8, Ireland
Iskander's Kebab House
3. Dame Street,
Dublin 2, Ireland Sultan Kebab House
4. George's Street,
Dublin 2, Ireland



Kesimpulan
Melihat latar belakang sejarah dan kehidupan masyarakat muslim Irlandia saat ini adalah hampir tidak ada yang istimewa dibanding dengan latar belakang dan kehidupan muslim di belaan dunia lain. Kecuali pergesekan muslim dengan kebijakan pemerintahan dan toleransi uskup Katholik yang mungkin agak janggal.
Namun jika kita amati lebih lanjut, pergesekan muslim, yang notabene minoritas di negeri tersebut, agaknya wajar jika ada beberapa aspek kebijakan yang bertentangan dengan mereka. Hal ini bisa kita bandingkan pula dengan kebijakan yang ada di Indonesia kepada minoritas non-muslim. Eksistensi Kong Hu Cu sempat menjadi polemik di antara pemerintah, masyarakat dan pemeluk Kong Hu Cu sendiri. Puluhan tahun mereka terasing dan tidak diakui sebagai agama dan memaksa mereka untuk mencari kepercayaan baru yang sebenarnya tidak mereka kehendaki.
Dan toleransi menyelamatkan mereka sehingga diakuinya mereka menjadi agama di Indonesia setelah Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Peristiwa ini hampir sama dengan kejadian yang menimpa muslim di Irlandia, kecuali muslim Irlandia didukung oleh uskup Katholik, sedangkan Kong Hu Cu Indonesia dibantu toleransi pemimpin negaranya.
Perihal pergesekan masyarakat muslim dengan penduduk setempat Irlandia, di sini orang-orang Islam telah menunjukkan kesetiaan mereka dengan ajaran agamanya serta telah menunjukkan identitasnya. Larangan memakai jilbab di sekolah ditanggapi dengan serius sehingga pemerintah menghargai kepercayaan muslim dengan tetap memperbolehkan memakai jilbab ke sekolah, akan tetapi warna jilbabnya harus menyesuaikan dengan seragam sekolah yang bersangkutan.
Begitupun yang terjadi dengan Akhmad Syeikh yang menolak bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan muhrimnya, yang tak lain wanita tersebut adalah pimpinannya sendiri. Dan hal ini menyebabkan Akhmad Syeikh tidak menerima gajinya. Hal ini pun menjadi sorotan serius dari majelis ulama setempat. Namun sayang penulis tidak menadapat informasi lebih lanjut mengenai peristiwa tersebut.
Kesimpulannya, orang Islam telah menunjukkan identitasnya walaupun berada di lingkungan yang minoritas. Dan hal ini sangat berguna untuk membedakan mereka dengan yang lain (agamanya). Lihatlah terdapat toko-toko muslim yang menjual makanan dan minuman yang halal, dan juga restauran-restauran halal yang tersebar di beberapa tempat di Irlandia, terutama di ibukota.
Terakhir, atas keterbatasan informasi dan penulisannya kami mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya. Demikian pula dengan keterbatasan referensi karena sedikitnya tulisan yang berisi kondisi muslim Irlandia. Saran dan kritiknya tetap dinanti untuk perbaikan di masa mendatang.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Politik Ethis Kolonialis

A. Pendahuluan
Sebuah era baru dalam penjajahan Indonesia telah dimulai. Sebuah zaman yang akan membawa Indonesia ke masa yang lebih cerah, yang akan membawa pada kemerdekaan. Adalan sebuah era perpolitikan baru kolonialisme di Nusantara. Meningkatnya gaung tentang HAM turut berperan bagi era baru penjajahan di Indonesia. Bukan rahasia lagi kalau kebanyakan masyarakat Belanda, yang notabene merupakan penjajah Indonesia, turut meneriakkan tentang kebebasan dan kesejahteraan bagi Indonesia.
”Politik Ethis” biasa disebutnya, merupakan tonggak awal bagi kebangkitan rasa nasionalisme di Indonesia. Mengendurnya kolonialisme menjadikan rakyat Indonesia lebih banyak mendapat peluang untuk meningkatkan kemampuan diri, baik dalam ekonomi, politik, maupun pendidikan. Dan yang lebih utama dari adanya politik ethis ini ialah munculnya semangat nasinalisme yang menggerakkan semangat para pemuda membentuk organisasi-organisasi kepemudaan multi-nasional, yang menjadi tumpuan bangsa dalam merebut kemerdekaannya.
Selain hal di atas, peran agama juga semakin meningkat. Organisasi-organisasi keagamaan, terutama Islam, memberi warna tersendiri bagi era baru ini. Munculnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah menjadi bagian dalam sejarah Nusantara. Keduanya tidak dapat dikesampingkan dalam perkembangan bangsa Indonesia ini.
Untuk lebih jelasnya, saya akan coba mengurai tentang apa sebetulnya politik ethis itu, serta dampak dari berjalannya politik ethis tersebut? Baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Tentunya kita ingin mengambil hikmah apa yang dapat diperoleh dari mengkajinya, dan lebih jauh ingin menemukan arah dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Selain itu, kita juga ingin mengungkap kenapa politik ethis ini dijadikan awal langkah gerak sejarah bangsa kita?

B. Politik Ethis Kolonialis
Politik ethis (een eereschuld) merupakan kebijakan baru yang mulai cenderung untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan serta pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia . Kebijakan diambil oleh pemerintah kolonial setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak termasuk dari warganya sendiri seperti Pieter Broshooft, C. Th. Van Deventer, Eduard Douwes Dekker dan lainnya serta mendapat legitimasi setelah Ratu Wilhemina mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa.
Dalam penerapannya, pihak Belanda menyebutkan bahwa ada tiga prinsip yang dianggap sebagai dasar kebijakan tersebut; educatie, emigratie irrigatie (pendidikan, perpindahan penduduk, pengairan). Kebijakan ini juga membawa dampak bagi segala aspek kehidupan di Indonesia, di antara dampak-dampaknya ialah berikut ini:

1. Politik
Desentralisasi menjadi sasaran utama adanya politik ethik kolonial. Desentralisasi dari Den Haag ke Batavia (Jakarta). Dari Batavia ke daerah-daerah dan dari orang Belanda ke orang-orang Indonesia. Namun jika dilihat dari jumlah anggota dewan yang ada di setiap kota, maka tidak merepresntasikan sepenuhnya suara rakyat Indonesia. Hal ini karena mayoritas yang duduk di kursi dewan adalah orang Belanda dan hak suara hanya diberikan kepada penduduk laki-laki yang melek huruf.
Langkah paling nyata ke arah desentralisasi adalah pembentukan Dewan Rakyat (Volkraad) , yang sidang pertamanya diselengarakan pada 1918.
Dari dalam negeri, mengendurnya kebijakan politik mendorong berdirinya organisasi-organisasi keangkitan nasional. Sebuah blunder bagi kaum kolonial, karena berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi semakin meningkatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia yang membawa kepada kemerdekaan bangsa.
Peningkatan jumlah penduduk yang drastis juga menjadi bagian dari berkembangnya politik ethis. Pada tahun 1930 menyentuh angka 40,9 juta jiwa untuk penghuni Jawa dan Madura saja. Padahal hanya 28,4 juta jiwa pada tahun 1900, dan 34,4 juta jiwa pada 1920. sedangkan luar Jawa mencapai 18,2 juta Jiwa. Hal yang tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi Jawa yang kalah produksi dari luar Jawa.
Peningkatan jumlah penduduk ini juga mendorong adanya transmigrasi (emgratie: dalam istilah Belandanya). Banyak penduduk Jawa yang berpindah ke Sumatera meski hanya sekedar menjadi kuli. Namun sebetulnya, perpindahan tersebut tidak sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat.
Ada beberapa yang dinilai sebagai penyebab dari peningkatan jumlah penduduk ini. Di antaranya adalah peningkatan anggaran kesehatan yang meningkat hampir sepuluh kali lipat. Dilakukannya imunisasi, kampanye anti malaria, perbaikan-perbaikan kesehatan menyebabkan turunnya angka kematian.
Penggunaan genteng jua menjadi menurunnya angka kematian yang biasa disebabkan oleh wabah pes yang melanda akibat tikus yang biasa hidup di atap-atap jerami. Meski secara umum kesehatan di Nusantara masih belum memadai, tapi berkembangnya organisasi-organisasi kemasyarakatan banyak berperan dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan.
Kemudian pada kurun waktu sampai 1927 juga dilaksanakan penyusutan jumlah desa di Nusantara. Dari 30.500 desa pada 1897, kini tersisa 18.584 desa saja. Hal ini ditempuh untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih rasional dan menjamin gaji yang lebih tinggi untuk kepala desanya.
Dan yang paling menjadi sorotan bagi dunia kesejarahan dalam era ini adalah bergesernya suatu paradigma yang mulanya cenderung ke barat-baratan kini lebih cenderung pada sudut pandang Indonesia. Eropasentris dianggapnya suatu bentuk penulisan sejarah tidak objektif karena bukan dinilai dari objeknya. Heather Sutherland menjadi tokoh utama adanya paradigma baru ini. Di Indonesia sendiri, Kuntowijoyo tampil sebagai sejarawan pertama dari kalangan penduduk biasa, karena sbelumnya, penulis sejarah meskilah seorang bangsawan, ningrat. Ciri yang menunjukan paradigma baru sejarah ini dari penggunaan kata perjuangan yang sebelumya pemberontakan, juga terbukanya penulisan sejarah bagi semua kalangan.

2. Ekonomi
Pada zaman ini juga ditandai dengan naiknya pamor Nusantara dalam poduksi. Nilai ekspor barang meningkat drastis, baik dari semar pertanian maupun minyak bumi. Produksi gula meningkat hampir empat kali lipat -sebelum mengalami depresi-, teh meningkat hampir sebelas kali lipat. Begitupun dengan produk tembakau, lada, kopra, kopi dan lainnya.
Minyak bumi juga seolah tak mau kalah. Meski sempat dikhawatirkan industri minyak bumi akan tenggelam -disebabkan ditemukannya lampu pijar yang tidak menggunakan minyak-, tapi seperti kebetulan di saat yang sama juga ditemukan mesin-mesin teknologi baru seperti mobil. Bahkan Nusantara menjadi salah pengekspor minyak bumi terbesar di dunia. Hal ini mendorong para investor asing untuk mulai menanamkan modalnya dalam negeri. De koninklijke, yang menjadi pemasok terbesar, bergabung dengan Shell Transport dan Trading Company menjadikannya perusahaan minyak multi nasional terbesar. Royal Dutch Shell, gabungan perusahaan multinasional tersebut, memproduksi 85% dari seluruh produksi minyak bumi Nusantara.
Selain minyak bumi, karet juga menjadi salah satu penghasil terbesar di Nusantara ketika munculnya kendaraan-kendaraan bermesin. Hevea Brasiliensis (nama latin karet) menjadi tanaman yang paling banyak ditanami di periode tahun 1930-an. 44 persen dari luas tanah yang disediakan bagi lahan perkebunan ditanami karet. Pada masa itu, Indoensia memproduksi hampir separoh dari kebutuhan karet dunia.
Era ini ditandai dengan menurunnya produk-produk ekspor Jawa dibanding dengan produk Luar Jawa, kecuali teh dan gula. Bahkan gula pun tenggelam setelah terjadi depresi, walaupun produksi tidak menurun, tapi karena harga turun menimbulkan kerugian. Meski ekspor ubi kayu hampir seluruhnya berasal dari Jawa, namun nilainya hanya seperdelapan dari ekspor karet.
Bergesernya kegiatan ekonomi ke daerah-daerah luar Jawa menimbulkan kesulitan yang besar dalam kebijakan pemerintah. Lapangan investasi dan penghasil komoditi ekspor yang terpenting berada di luar Jawa.

3. Pendidikan
Banyak sekali usaha yang dijalankan di bidang pendidikan, dan hasil-hasilnya seringkali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung politik ethis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia, tetapi ada uda aliran pemikiran yang berbeda mengenai jenis pendidikan yang bagaimana dan untuk siapa. Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan yang ’ethis’ pertama, J.H. Abendanon, mendukung pendekatan yang sifatnya elitis. Mereka lebih menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elit Indonesia yang dipengaruhi Barat, yang dapat mengambil alih banyak dari pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintahan berkebangsaan Belanda, sehingga menciptakan suatu elit yang tahu berterimakasih dn bersedia bekerjasama, memperkecil anggaran belanja pemerintah, mengendalikan fanatisme Islam, dan akhirnya menciptakan keteladanan yang akan menjiwai masyarakat Indonesia golongan bawah.
Idenburg dan Gubernur Jenderal ven Heutsz mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya. Pendekatan yang sifatnya elit diharapkan dapat menciptakan pemimpin-pemimpin baru bagi zaman cerah Indonesia-Belanda yang baru, sedangkan pendekatan yang merakyat itu akan memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan.
Tahun 1900 mulai berdiri OSVIA yang mas pendidikannya berlangsung slama lima tahun dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia yag telah menyelesaikan sekolah rendah Eropa. Tahun 1927 masa pendidikannya ikurangi menjadi 3 tahun. Sekolah Dokter Jawa diubah menjadi STOVIA yang terbuka untuk orang-orang Indonesia. Abendanon memperluas peluang bagi rakyat Indonesia yang bukan bangsawan untuk memasukinya dan menghapuskan uang sekolah bagi para orangtua yang penghasilannya di bawah 50 gulden per bulan.
Para bupati yang konservatif menjadi penghalang Abendanon dalam langkah pembaruan-pembaruannya. Cita-citanya sebetulnya sama dengan yang dimiliki oleh RA Kartini (1879-1904), putra bupati maju di jawa, RM Adipati Arya Sasraningrat.
Cita-cita tentang pendidikan kaum wanita yang begitu didambakan oleh Kartini dan Abendanon tersebut tidak pernah mendapat prioritas pemerintah, terutama oleh pengaruh para bupati yang konservatif dan pejabat-pejabat kolonial yang skeptis. Pada tahun 1911 Abendanon memberikan penghargaan pribadi kepada Kartini dengan menerbitkan surat-surat Kartini yang mengharukan yang ditulis Kartini antara tahun 1899 dan 1904 dengan judul door duisternis tot licht (habis gela terbitlah terang). Di negeri Belanda pada tahun 1913 didirikan suatu yayasan swasta ernama Kartini Fond (Dana Kartini) yang akan mengurusi pendidikan berbahasa Belanda agi kaum wanita Jawa, yang kemudian disubsidi oleh pemerintah Belanda..
Pada tahun 1909 juga mulai didirikan sekolah-sekolah kejuruan, meski sempat terjadi pertentangan di antara Snouck Hurgronje dan Gubernur Jenderal van Heutsz. Misi-misi Kristen memulainya di Minahasa, daerah-daerah batak Sumatera dan Jawa. Sekolah-sekolah tersebut juga membuka kursus bagi pandai besi, tukang kayu, tukang listrik dan para montir mobil.
Perbaikan pendidikan yang paling berarti adalah dalam sistem sekolah yang dibuka untuk orang-orang Indonesia sejak tahun 1892-1893. sekolah dasar ini dibagi ke dalam dua kelas; kelas satu diperuntukkan bagi golongan atas, sedangkan kelas dua untuk rakyat jelata. Guru-guru berkebangsaan Belanda, meski kebanyakan wanita karena para lelakinya hampir semuanya tak sepaham dengan ide ini.

4. Agama
Pada pergantian abad XIX ke XX, banyak orang-orang Islam yang mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan-perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan den banggan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Kesadaran ini membawa angina segar untuk segera membenahi sistem-sistem klasik untuk beralih pada sistem yang lebih modern.

C. Kesimpulan
Secara umum, politik ethis telah memberi banyak keuntungan bagi kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Baik dari segi pendidikan yang mengalami banyak peningkatan, perekonomian yang mendunia, serta kelonggaran perpolitikan kolonial yang meningkatkan syahwat nasionalisme, sehingga banyak berdiri organisasi-organisasi keagamaan maupun kebangsaan.
Namun demikian, kebijakan ini juga mendapat kritik dari Douwes Dekker yang menangkap adanya kesenjangan antara pengaruh terhadap rakyat kecil dan kaum elit. Nilai pendidikan dianggap terlalu tinggi untuk masyarakat kecil dan bahkan terkesan dipersulit. Hal ini dilihat dari peraturan yang ada di sana.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dinasti-dinasti Kecil Persia

Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah, Peradaban Islam hampir-hampir menjadi agama yang mengsampingkan pemikiran, filsafat. Agaknya beruntung ketika Islam mulai menyentuh Persia, baik lokal maupun kulturnya. Dalam persetubuhannya dengan Persia, Peradaban Islam mulai mengenal indahnya pluralitas, yang darinya dapat saling tukar hasil budaya masing-masingnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa Persia merupakan bangsa yang menjunjung tinggi akal. Dari sana kita bisa mengambil keuntungan berupa masuknya pemikiran-pemikiran atau dunia filsafat, terutama dariYunani. Para penerjemah mulai giat mengadopsi karya-karya filsafat Yunani. Dari sana, Peradaban Islam mulai mempelajari filsafat, meski pada awal perkembangannya sempat menjadi perdebatan.
Bahkan sebagian besar pemikiran Islam lahir dari tanah Persia, seperti Ibnu Sina, al-Farabi, dan Ibn Rusyd. Di zaman kontemporer kini pun kita masih bisa memetik buah pikir para pemikir Persia semacam Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari, dan Muhammad Hossein Nasr.
Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba menjelaskan sedikit tentang sejarah kemunculan dinasti-dinasti kecil yang pernah ada di Persia (Iran). Di antara dinasti-dinasti kecil itu adalah Dinasti Saffariyah, Dinasti Zand, Dinasti Qajar, dan Dinasti Syafawiyah. Sebetulnya masih ada beberapa dinasti-dinasti kecil lain yang pernah muncul di Persia, namun tidak dimasukkan dalam pembahasan ini karena dirasa keempat dinasti itu cukup mewakili dinasti-dinasti kecil lain yang tidak tercantum.

Dinasti-dinasti Kecil di Persia

1. Dinasti Saffariyah
Provinsi Sistan, bagian tenggara Iran atau perbatasan Iran dan Afghanistan, Khawarij membentuk gerombolan dan pasukan yang mampu menaklukkan ibukota. Ya’qub bin Lais As-Saffar menjadi penguasa. Sebagai trik politik, ia mengirim harta rampasan perang untuk mengelabui khalifah. Pada 867 telah menguasai Sistan dan Herat, bahkan Balkh, turkistan dan Sind dihadiahkan oleh Khalifah.
Kekuasaan Saffariyah dimulai tahun 861 M atau 247 H hingga tahun 1003 M atau 393 H. Pada tahun 865M/251H menguasai Zabulistan dan daerah Kabul-Bamiyan. Kirman diduduki akhir tahun 860-an M/250H, dan pada tahun 873M Yaqub menyerang Khurasan hingga Nirabus menggantikan kekuasaan Tahiri di Kaspia.
Saudaranya, Amr bin Lais, menggantikan pimpinan setelah berseteru dengan saudaranya Ali bin Lais ketik Yaqub meninggal dunia tahun 879M. Pada masanya Saffariyh mengalami puncak kejayaan sehingga Khurasan dan Rayy dihadiahkan oleh Khalifah Abbasiyah. Dinasti Saffariyah ini berakhir dengan kematian Khallaf setelah digempur Gaznawi pada tahun 1003M.

2. Dinasti Syafawiyah
Dinasti Syafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat Safawiyah, berdiri pada waktu yang hampir bersamaan dengan Turki Utsmani. Nama Syafawiyah diambil dari nama pendiri tarekat tersebut, Safi al-Din.
Pada mulanya, gerakan tarekat ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar, termasuk ahli-ahli bid’ah. Pada perkembangannya, tarekat ini menjadi gerakan keagamaan yang berpengaruh besar di Persia, Syria, dan Anatholia. Pada mulanya ia hanya gerakan tasawuf murni. Lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, dan menentang setiap orang yang bermadzhab selain Syiah.
Kecenderungan memasuki politik ini mendapat wujud konkretnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460). Dinasti afawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini mendapat perlawanan dari penguasa suku bangsa Turki, Kara Koyunlu (Domba Hitam), yang berkuasa di daerah itu. Ketika Juneid kalah, ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu (Domba Putih), yang juga salah satu suku bangsa Turki.ia tinggal di Uzun Hasan yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.
Dalam pengasingannya, ia menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi dengan Uzun Hasan. Ia juga mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Juneid terbunuh dalam serangannya ke Sircassia yang sebelumnya juga gagal dalam penyerangan Ardabil.
Kepemimpinan gerakan Syafawi baru diserahkan kepada Haidar pada tahun 1470 karena menunggu kedewasaannya.haidar menikahi putri Uzun Hasan yang darinya lahir Ismail, pendiri dinati Syafawiyah.
Kemenangan Ak Koyunlu tahun 1476 terhadap Kara Koyunlu memandang gerakan Syafawi yang dipimpin Haidar sebagai rival politik AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal sebagaimana telah disebutkan, Syafawi adalah sekutu AK Koyunlu. AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan dinasti Syafawi. Karena itu ketika Syafawi menyerang wilayah Sircassia dan Sirwan, AK Koyunlu mengirimkan bantuan militer untuk membantu Sirwan sehingga sukan Syafawi kalah dan Haedar terbunuh.
Ali, putra Haidar dintuntut pasukannya untuk menuntut balas atas kematian Haidar. Tetapi Ya;kub, pemimpin AK Koyunlu berhasil menangkap Ali bersama saudaranya Ibrahim dan Ismail dan ibunya di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493. mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota AK Koyunlu, dengan syarat mau membantu membebaskan sepupunya. Ali kembali ke Ardabil setelah saudara sepupu Rustam dikalahkan. Namun selanjutnya Rustam berbalik memusuhi Ali bersaudara yang menyebabkan kematian Ali (1494).
Ismail naik menggantikannya meski baru tujuh tahun. Ia menyiapkan pasukannya selama tujuh tahun. Pasukan itu dinamainya Qizilbash (Baret Merah)
Di bawah pimpinan Ismail, tahun 1501 pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan paukan AK Koyunlu di Sharur. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibukota AK Koyunlu dan berhasil mendudukinya. Di kota ini Ismail menguasai Kota memproklamirkan diri menjadi khalifah pertama dinasti Syafawi, Ismail I.
Ismail I berkuasa selama 23 tahun, 1501-1524. sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Dalam sepuluh tahun ia berhasil menguasai eluruh Persia dan bagian timur bulan sabit subur (Fertile Crescent). Ambisi politiknya juga mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap kekuasaan ke Turki. Namun Ismail bukan hanya menghadapi musuh sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Syiah. Peperangan dengan turki Utsmani terjadi pada tahun 1514 di Chaldiran, dekat Tabriz. Nahas Ismail kalah sehingga Tabriz dikuasai Turki Utsmani. Beruntung sultan Salim segera kembali ke Turki karena terjadi konflik di kerajaannya.
3. Dinasti Zand (1750-1779)
Karim Khan Zand -suku yang rendah hati asal- menjadi salah satu jenderal pendahulunya, Nader Shah. Dalam kalut setelah Nader Shah mengalami pembunuhan pada 1747, Karim Khan menjadi kekuatan utama untuk penyaing kekuasaan. Karim Khan ikut serta dalam kontrol dari pusat dan bagian selatan Iran. Untuk menambah legitimasi kepada terhadap klaim, Karim Khan pada 1757 ditempatkan di atas takhta Shah Ismail III, cucu terakhir resmi raja Syafawiyah. Ismail adalah seorang raja boneka. Dia adalah seorang pemimpin yang menolak untuk menganggap judul shahanshah.
Tahun 1760 Karim Khan telah mengalahkan semua saingan dan mengontrol semuanya kecuali Khorasan Iran, di timur laut, yang diperintah oleh Shahrokh, orang buta, cucu Nader Shah. Karim Khan membawa kembali dari pengrusakan selama 40 tahun perang. Selain itu, ia mengorganiasasi kembali dengan sistem fiskal kerajaan, menghapus sebagian dari beban berat perpajakan dari pertanian kelas. Aktif pelindung dari seni, dia tertarik pada banyak ulama.
Karim Khan Iran juga membuka pengaruh asing untuk mengizinkan Inggris East India Company untuk membangun pos perdagangan di Bushire, di pelabuhan Teluk Persia (1763). Ia memajukan kebijakan dalam pengembangan perdagangan, tahun 1775-76 ia diserang dan diambil Basrah, pelabuhan Usmani di mulut Teluk Persia.
Perang sipil yang diikuti kematian Karim Khan hanya berakhir dengan pembentukan Qajar dinasti pada 1779 diikuti oleh konflik internal dan sengketa. Antara 1779 dan 1789 lima raja Zand memerintah sebentar. Dalam 1789 Lotf Ali Khan (memerintah 1789-94) menyatakan dirinya sebagai raja baru Zand. Ia mengambil tindakan untuk memberantas pemberontakan yang dipimpin oleh Agha Mohammad Khan Qajar yang dimulai pada saat kematian Karim Khan. Qajar memaksa Lotf Ali Khan untuk kalah dan akhirnya ditangkap di Kerman pada 1794.
Kekalahan menimbulkan dampak yang luarbiasa pada diri Ismail I. Ia leih sering menyendiri dan berbuat huru hara. Sehingga menibulkan persaingan segitiga antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat Persia dan Qizilbash untuk memperebutkan Safawi. Konflik seperti ini masih terus berlanjut, kecuali ketika Abbas I, raja dinasti Syafawi kelima, naik tahta. Untuk meredam konflik, pertama, ia menempuh langkah membentuk pasukan baru yang terdiri dari budak dan tawanan perang untuk meredam dominasi Qizilbash. Kedua, membuat perjanjian damai dengan Turki Utsmani, meski harus menyerahkan Azerbaijan, Georgia, dan sebagian Luristan. Ia juga berjanji tidak akan lecehkan tiga khalifah pertama Islam (Abu Bakar, Umar, Ustman) alam khotbahnya. Sebagai jaminan, ia menyerahkan saudara sepupu, Haidar Mirza, sebagai tawanan di Istanbul.
Setelah kekuatannya pulih, ia berusaha merebut kembali daerah-daerah kekuasaannya yang sempat lepas dari tangan Turki Utsmani. Karena keberhasilannya merebut kembali daerah yang sempat direbut itu, Abbas I dinobatkan sebagai pemimpin dinasti yang paling jaya dibanding yang lainnya.

4. Dinasti Qajar (1785-1925)
Qajars adalah sebuah suku Turkmen yang lahir di tanah leluhur Azerbaijan, yang kemudian merupakan bagian dari Iran. Dalam 1779. Setelah kematian Mohammad Karim Khan, penguasa Dinasti Zand, sebelah selatan Iran, Agha Mohammad Khan, seorang pemimpin dari suku Qajar, ditetapkan untuk menyatukan kembali Iran. Agha Mohammad Khan mengalahkan banyak saingan dan membawa semua Iran di bawah aturannya untuk mendirikan dinasti Qajar. Pada tahun 1794 dia telah menaklukkan semua saingan, termasuk Lotf 'Ali Khan, yang terakhir dari Dinasti Zand. Agha Mohammad mendirikan modal di Teheran, sebuah desa di dekat reruntuhan kota kuno Ray (sekarang Shahr-e Rey). Tahun 1796 ia secara resmi diangkat sebagai penguasa.
Di bawah Fath Ali Shah, dinasti Qajar melakukan perluasan dari utara ke Kaukasus Mountains, sebuah kawasan bersejarah dan berpengaruh. Ketika Mohammad Shah meninggal, anaknya Naser-e-Din, menjadi yang paling berhasil untuk menjadi penerusnya.
Selama Naser o-Din Shah pemerintahan Barat berupa ilmu pengetahuan, teknologi, dan metode pendidikan yang diperkenalkan ke Iran dan negara modernisasi telah dimulai. Naser o-Din Shah mencoba memanfaatkan rasa saling curiga antara Inggris dan Rusia ke Iran. Tetapi gangguan asing meningkat dan gangguan teritorial di bawah aturan. Dia dikontrak besar pinjaman luar negeri untuk membiayai perjalanan pribadi mahal ke Eropa. Dia tidak mampu mencegah Inggris dan Rusia mempengaruhi wilayah tradisional Iran.
Mirza Taghi Khan Amir Kabir, adalah pengganti Nasser o-Din. Dengan kematian Mohammad Shah di 1848, Mirza Taqi bertanggung jawab untuk memastikan mahkota raja jatuh ke tangannya. Ketika Nasser o-Din berhasil naik takhta, Amir Nezam telah diberikan posisi perdana menteri dan dijuluki Amir Kabir, Great Jang
Salah satu prestasi besar Amir Kabir adalah bangunan Dar-ol-Fonoon, universitas modern pertama di Iran. Dar-ol-Fonoon didirikan untuk pelatihan kader baru administrator dan acquainting mereka dengan teknik Barat. Dia menyewa para pakar dari Barat untuk menjadi instruktur serta mengajar mata pelajaran yang berbeda seperti Bahasa, Kedokteran, Hukum, Georgrafi, Sejarah, Ekonomi, dan Teknik.
Pada bulan Oktober 1851 dia diasingkan ke Kashan, tempat di mana dia akan dibunuh.
Ketika Naser o-Din Shah dibunuh oleh Mirza Reza Kermani, anaknya Mozaffar o-Din menjadi penggantinya. Mozaffar o-Din Shah adalah seorang pemimpin lemah dan tak berguna. Royal dan tidak adanya penerimaan kian mempersulit masalah keuangan. Orang mulai menuntut kerajaan untuk membatasi kekuasaan dan pembentukan supremasi hukum sebagai kekhawatiran atas campur tangan asing, terutama Rusia. Namun, Mozaffar o-Din's putra Mohammad Ali Shah, dengan bantuan Rusia, berusaha untuk membatalkan konstitusi meniadakannya parlemen dan pemerintah.

Penutup
Demikian makalah ini saya buat dengan sebaik-baiknya. Tentunya masih banyak kekurangan yang perlu ditambah dan kesalahan yang perlu diperbaiki. Di sinilah perlunya kita mendiskusikan makalah ini. Harap maklum, terimakasih.

Daftar Pustaka
1. iranchamber.com
2. Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam. 2005. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
3. John L Esposito. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. Jilid II. 2001. Bandung: Penerbit Mizan.
4. Dr. Abdl Chair, MA. Dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. t.t. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cendekiawan Syiah Dalam Perannya Sebagai Penggerak Sejarah

A. Pendahuluan
Syiah sebagai paham dalam Islam lebih sering muncul pada wajah negatifnya daripada peran yang mereka ukir bagi perkembangan sejarah Islam. Maklum, sebagai golongan yang lahir dari kaum oposisi, mereka seringkali didistorsi. Sehingga yang tampak saat ini bukan peran-peran yang mereka torehkan untuk Islam melainkan tampak lebih sebagai kaum yang terpinggirkan yang berbeda aliran sehingga patut untuk dimusuhi bahkan diperangi.
Tentu hal ini tidak menguntungkan bagi Islam sebagai peradaban. Di satu sisi kita menolak mereka sebagai saudara kita, di sisi lain kita disibukkan dengan menutup diri bahkan terkesan sangat memusuhi mereka. Hal ini semakin membuka ’borok’ berupa fragmentasi dalam dunia Islam. Sehingga bukan saja non-integrated tapi juga mudah diadu domba.
Pada kesempatan kali ini, saya berusaha mengangkat peran yang telah ditorehkan Syiah dalam dunia Islam untuk mengikis pandangan negatif tentang mereka. Yaitu dengan mengangkat pemikiran dan kontribusi tokoh-tokoh mereka. Di sini, kita akan mengangkat tiga tokoh terkemuka Syiah, terutama pada abad kontemporer yang berperan besar bagi pembaharuan Islam. Ketiga tokoh tersebut yaitu: Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari, dan Muhammad Nasr Hamd.

B. Syiah; Sejarah Kemunculannya
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. , para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAW setelah ia wafat. Keyakinan ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah guna menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAWW. Dan dengan cara dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali a.s. yang hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah Rasulullah SAW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali a.s. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali a.s. setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali a.s. untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali a.s. tampil aktif dalam memecahkannya.

C. Cendekiawan Syiah
1. Ali Syari’ati
Syari’ati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang pembicara nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.
Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Syari’ati berkenalan dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi yang lebih lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek dari pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan dan memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat-masyarakat Muslim melalui prinsip-prinsip Islam yang tradisional, yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern. Syariati juga sangat dipengaruhi oleh Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.
Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, kemudian ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di Universitas Paris. Di sana ia memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis. Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya jadi populer di antara mahasiswa dari semua kelas sosial, dan hal ini kembali mengundang tindakan oleh penguasa Kekaisaran yang memaksa Universitas untuk melarangnya mengajar.
Syari’ati lalu pergi ke Teheran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Syariati.
Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Syariati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.
Syari’ati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Syariati yang revolusioner, yang anti-klerus dan mendukung nilai-nilai egalitarian
Syariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam
Pemikiran
Menurut Ali Syari’ati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai semangat kolektif suatu kelompok. Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, papar Syari’ati, dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu memproklamirkan semboyan-semboyan tertentu dalam membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama sebagai institusi sosial.
Berangkat dari asumsi demikian, maka dapat dicari sebuah jawaban dari pertanyaan mengapa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan cepat dapat diterima oleh masyarakat Arab. Islam sebagai ideologi yang diusung oleh Muhammad membawa orde sosial baru yang disandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam stuktur sosial masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat Arab yang sudah lama muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai menemukan semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan dan kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk melepaskan diri dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.
Sehingga dapat dimengerti jika kemudian Syari’ati mencoba merekonstruksi “Islam Syi’ah” sebagai ideologi revolusioner. Syari’ati menyatakan dengan jelas, bahwa Islam bukanlah Islam kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahîd, bukan pula Islam dalam tradisi umum, tetapi Islam dalam kerangka Abu Zar. Islam lahir secara progresif dalam upaya merespon problem-problem masyarakat dan memimpin masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita yang berharga. Dalam hal ini, Islam dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif, dan diposisikan sebagai “agama pembebasan” yang fokus dengan isu-isu sosial-politik seperti penindasan, diskriminasi, ketidakadilan dan sebagainya. Semangat Islam sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam untuk membangun konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa penindasan dan ketidakadilan.
Dalam konteks global Syari’ati melihat ada problem besar masa depan dunia Islam, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah mengalienasi masyarakat Muslim dari kebudayaan aslinya (turâts), karena mereka mau tidak mau harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis. Senada dengan Syari’ati, Hasan Hanafi juga melihat bahwa kolonialisme atau westernisasi mempunyai pengaruh luas terhadap dunia Timur (Muslim), tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban. Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah pada gaya kehidupan sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni bangunan. Tidak hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk membuka diri terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan keterbukaan bahasa, maka konsekuensinya harus menerima kehadiran bahasa asing.
Syari’ati memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda negara Dunia Ketiga tak terkecuali Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas, ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westoxication). Ia menyatakan bahwa kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh terbesar masyarakat yang harus diberantas dalam jangka panjang. Tetapi untuk jangka pendek, menurut Syari’ati, ada dua musuh yang harus segera dimusnahkan: pertama, Marxisme vulgal – menjelma terutama dalam Marxisme-Stalinisme – yang banyak digemari para intelektual dan kaum muda Iran, dan kedua, Islam konservatif sebagaimana dipahami kaum mullah yang menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada para penguasa.
Untuk membebaskan massa dari krisis yang membawa mereka mencapai negara yang merdeka dan berkeadilan sosial-ekonomi, Syari’ati yakin bukan melalui Liberalisme, Kapitalisme, ataupun Sosialisme, namun yang bisa mengobati penyakit ini, kata Syari’ati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan. Hal ini sangat masuk akal jika Syari’ati menginginkan Islam sebagai penggerak revolusi. Terlebih lagi dalam konteks Iran, Islam (Syi’ah) justru dijadikan sebagai agama resmi negara. Dengan latar belakang yang demikian kondusif, Syari’ati menempuh sejumlah strategi sekaligus mengkonsolidasi masyarakat ke dalam satu paradigma: Islam adalah solusi. Beberapa strategi tersebut mengandung muatan yang sama, yakni menyakinkan masyarakat untuk memilih Islam sebagai jalan perubahan.
Pertama-tama Syari’ati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa Islam agama yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan. Syari’ati sangat antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi pemahaman Islam yang benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat. Mereka itulah yang menurut Syari’ati disebut para pemikir tercerahkan (rausanfikr). Kemudian Syari’ati menunjukkan bahwa Islam merupakan akar budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan demikian masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika menginginkan perubahan.
Untuk mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi, mula-mula Syari’ati melakukan redifinisi tentang pemahaman ideologi itu sendiri Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lain, dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu atau pengetahuan. Sehingga ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Menurut pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas sosial atau suatu bangsa.
Syari’ati berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip, kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui dan tidak terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran dan substansi, fenomena dan konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran manusia. Tentu saja pemahaman Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan pandangan para penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen Habermas, misalnya, ia menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan filsafat (bahasa Habermas: Knowledge, pengetahuan) mempunyai landasan yang sama dalam pengembanganya, yaitu kepentingan (keberpihakan). Walaupun Habermas berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa kepentingan itu adalah pasti kepentingan kelompok atas, Habermas lebih melihat kepentingan itu muncul dari siapa saja (manusia kelompok manapun) yang terlibat dalam pengembangkan sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.
Di sisi yang berbeda, ideologi menuntut seorang cendekiawan untuk memihak. Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah suatu kepentingan yang mutlak. Setiap ideologi memulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo, kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi, politik dan moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Berbeda dengan filsafat maupun ilmu yang sama sekali tidak mempunyai komitmen seperti itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak membedakan apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut.
Inilah perbedaan yang menyolok antara ilmu, filsafat dan ideologi. Dengan kata lain, agar ideologi mampu memposisikan dirinya menjadi landasan perjuangan, maka keberpihakannya harus jelas. Pada wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga mampu memberikan doktrin-doktrin politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa menyerang. Inilah sebenarnya, kata Syari’ati, makna sesungguhnya dari ideologi, yang berarti bukan konsep, landasan berfikir, filsafat, apalagi ilmu. Ideologi adalah kata lain dari keberpihakan politik, tegas Syari’ati.
Lebih lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas Syari’ati, yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengoganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab, keterlibatan dan komitmen. Ideologi, lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggungjawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan hanya dapat digerakkan oleh ideologi.
Setelah mengkonstruksi gagasannya tentang ideologi, Syari’ati menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakkan oleh masyarakat yang mempunyai ideologi kokoh. Dalam kondisi keterpurukan untuk konteks Iran, Syari’ati berfikir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komprehensif, sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, untuk tujuan makhluq secara keseluruhan.
Di sinilah letaknya bahwa Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan: Ia (Islam) akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan kekuasaan tiranik. Ia tidak akan pernah berbaiat (sepakat) dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan pewaris setan. Asy-syûra mengingatkan kembali akan ajaran ihwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan.
Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantab selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan menifestasi dari semangat ideal kemanusiaan yang sejati”. Jika Islam diubah bentuknya dari “madzhab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apa pun kepada masyarakat.
Untuk mencapai tujuan menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi Islam, Syari’ati menempuh beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk melakukan redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu yang berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis untuk mengubah status quo yang tidak memuaskan kehendak masyarakat.
Pada tahap pertama, Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhid sebagai pandangan dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani. Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Pada tahap kedua, adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.
Dengan berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri menjadi medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara keseluruhan. Meskipun demikian, Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Pada tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.
Keseluruhan langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan mengerucut pada satu tujuan, yaitu pembaharuan Islam (protestanism).
Gerakan Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang sangat besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk: pertama, penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan gerakan. Kedua, mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan yang semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman di antara mereka, dan dengan demikian menempatkan agama – yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan gerakan – untuk kepentingan rakyat. Keempat, mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang diperlukan untuk menggerakkan rakyat.
Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang – dengan kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil – melumpuhkan agen-agen reaksioner dalam masyarakat, sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-unsur yang digunakan untuk membius mereka. Keenam, menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran bebas (ijtihâd) yang kritis, revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat dicapai melalui gerakan pembaharuan agama yang akan menyaring dan menyuling cadangan energi yang sangat besar di dalam masyarakat, dan akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan generasi masa kini. Karena alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang yang tercerahkan dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif

2. Murtadha Muthahari

Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, sebuah kota kira-kira 120 km dari Masyhad, pada tanggal 2 Februari 1919 dari keluarga yang saleh di Khurasan. Ayahnya adalah Muhammad Hussein Muthahhari, seorang alim yang dihormati. Ia dibesarkan dalam asuhan ayah yang bijak sampai usia 12 tahun. Pada tahun 1356 H, ia hijrah ke Qum untuk belajar pada dua guru kenamaan, Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini. Selagi menjadi mahasiswa, ia menunjukkan minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Ia telaah karya-karya Aristoteles, Will Durrant, Sartre, Freud, Bertrand Russel, Eric Fromm, Alexis Carrell, dan pemikir-pemikir Barat lainnya.
Guru utamanya di bidang filsafat adalah Allamah Thabathaba’i, guru besar filsafat dan penyusun tafsir, Al-Mizan. Dalam usia 36 tahun, ia sudah mengajar logika, filsafat dan fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang diasuhnya: Fiqh, Ushl Fih, Ilmu Kalam, Al-Irfan (Tasawuf), Logika dan Filsafat. Ia syahid pada dua Mei 1979 oleh berondongan peluru beberapa orang pemuda dari kelompok furqan.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Muthahhari pindah ke Masyhad, yang merupakan pusat belajar dan ziarah yang bergengsi, untuk meneruskan pendidikannya dengan guru-guru yang otoritatif di bidangnya. Pada tahun 1936 ia meninggalkan Masyhad untuk pergi ke Qum. Adapun faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi ke Qum meninggalkan Masyhad adalah wafatnya Mirza Mehdi Shahidu Ravazi, seorang guru yang terkenal filsafat Islam. Dan Muthahhari memang telah memperlihatkan bakat filsafatnya yang menonjol. Pada tahun 1937, Muthahhari baru betul-betul menetap dan tinggal di Qum di mana studi tentang filsafat, sekalipun tidak betul-betul diizinkan, tetapi paling tidak relatif lebih dimungkinkan.
Pada musim panas 1941, Muthahhari meninggalkan Qum yang panas untuk pergi ke Isfahan di mana ia mempelajari Nahj al-Balaghah dengan Hajj Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, seorang guru yang punya otoritas dari naskah Syi’ah yang terkenal ini. Untuk belajar ushul fiqh dengan Ayatullah Borujerdi yang pindah ke Qum tahun itu. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1945, Muthahhari mulai membaca sebuah naskah filosofis, yaitu Manzumah karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomeini.
Pada tahun 1946, ketika ia mulai mempelajari Kifayah al-Usul, sebuah kitab hukum, dari Akhund Khorasani dengan Ayatullah Khomeini, ia memulai komitmen seumur hidupnya untuk memelajari Marxisme untuk kemudian dibantahnya. Tetapi, menurut Hamid Dabashi, sumber-sumber yang dipakai Muthahhari untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumber-sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamflet-pamflet oleh kaum Marxis yang tergabung dalam Partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab.
Pada tahun 1949 Muthahari memulai studinya terhadap al-Asfar al-Arba’ah karangan filosof Syiah abad keenambelas. Teman sekelasnya antara lain Ayatullah Muntazhari, Hajj Aqa Reza Sadr, dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri.
Pada tahun 1950 Muthahhari konsentrasi lebih keras lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia dari karya George Pulitzer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai mengikuti diskusi kamis Allamah Tabataba’i tentang “filsafat materialis”. Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-e Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik). Muthahhari kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap menerbitkannya (1953-1985). Disamping itu pada waktu ini ia mempelajari Ibn Sina dengan Allamah Tabataba’i. diantara teman sekelasnya adalah Muntazeri dan Behesti.
Pada tahun 1954 ia mulai mengajar di Tehran University, di Fakultas Teologi. Tetapi menjelang awal tahun 60-an dia terlibat secara aktif dalam organisasi masyarakat Religius Bulanan (Anjoman-e ye dini), dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah.
Muthahhari dicekal sebentar selama pemberontakan Ayatullah Khomeini pada bulan Juni 1963, dan majalah bulanan (The Mounthy Discdurse) dilarang. Pada tahun 1964 promosi Muthahhari di Tehran University ditolak. Pada tahun 1965 ia turut berjasa dalam mendirikan Hosseiniyyeh Ershad, yaitu sebuah organisasi religius yang didirikan secara pribadi (swasta yang diabdikan untuk kepentingan Syi’ah).
Antara bulan Juni 1963 dan bangkitnya gerakan revolusi pada tahun 1977-1979, Muthahhari terus mengadakan kontak dengan Ayatullah Khomeini, dan bahkan dalam kenyataannya ia menjadi satu-satunya wakil di Iran yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat karena pengasingan Ayatullah. Pada waktu yang bersamaan ia terus memberi kuliah dan menulis tentang berbagai isu-isu keagamaan dan sosial. Tapi pada bulan Mei tanggal 1, 1979 Muthahhari terbunuh hanya beberapa saat setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Diantara tulisan-tulisannya, selain Ushul-e Falsafah adalah Struktur Hak-Hak Wanita dalam Islam (1966-1967), Manusia dan Nasibnya (1966), Layanan Timbal Balik antara Iran dan Islam (1967), Pertolongan Ghaib dalam Kehidupan Manusia (1969) dan lain-lain.
Pemikiran
Muthahhari telah memperlihatkan kecenderungan yang kuat pada filsafat sejak dini dalam hidupnya. Tentu saja ketika kita bilang filsafat, yang dimaksud adalah filsafat Islam. Dan ketertarikan Muthahhari terhadap filsafat ternyata bukan hanya sekedar keranjingan pada pemikiran-pemikiran spekulatif, tetapi justru ia melihat filsafat sebagai senjata ideologi yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular yang tersebar cepat di Iran. Ini tentu mengingatkan kita pada situasi sama yang dihadapi al-Ghazali sepuluh abad yang lalu, ketika ia menemukan filsafat sebagai senjata ampuh ideologi (dalam hal ini agama Islam) untuk menangkal ide-ide filosofis. Bedanya sementara yang dihadapi oleh al-Ghazali adalah ide-ide filosofis para filosof Muslim (falasifah) yang dianggap tidak ortodoks, yang dihadapi Muthahhari adalah ide-ide sekular Barat, khususnya Marxisme. Tapi semangatnya sama. Demikian penting peran filsafat sebagai senjata ideologi, sehingga Muthahhari berusaha menghidupkan kembali tradisi filosofis yang secara aman telah jinak, dan ia percaya filsafat merupakan “prioritas utama dalam skala makna (signifikansi) diantara semua cabang ilmu pengetahuan.
Selain bicara tentang filsafat sebagai senjata ideologis yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular Baat, Muthahhari juga menyatakan dengan tegas bahwa filsafat bukanlah hak istimewa Barat. Dia mengatakan dan percaya bahwa “Yunani Kuno (sebagai lambang filsafat Barat) memperoleh asal keberhasilannya yang utama dari Timur. Sarjana-sarjana besar dari belahan dunia tersebut berulangkali melancong ke Timur, belajar banyak dari sarjana-sarjana Timur, dan ketika mereka kembali, mereka menyebarkannya di negeri mereka.” Pendapat ini barangkali mendapat dukungan dari sumber-sumber klasik Islam, seperti yang dinyatakan oleh al-Amiri dalam kitabnya al-Amad ‘ala al-Abad. Tentu dalam konteks kekinian, ia ingin menyatakan bahwa bukan hanya orang-orang Barat yang memiliki filsafat, tetapi juga umat Islam. Dalam kitabnya Ushul-e Falsafah, jelas terlihat usaha Muthahhari untuk menunjukkan keunggulan filsafat Islam atas filsafat Barat, yang disebutnya tidak realistik.
Dan sejauh ia menyangkut filsafat Islam, maka Muthahhari menunjuk dua tradisi besar yang ada di sana, yaitu Paripatetik, yang menurutnya lebih tepat disebut deduksionis, yang diwakili oleh Ibn Sina (w. 1037) dan Illuminasionis (Isyraqi) yang diwakili oleh Suhrawardi (w. 1191). Yang pertama lebih menekankan keutamaan wujud (ishalat al-wujud) sedangkan yang lain lebih menekankan keutamaan esensi (isal al-mahiyyah) atau yang mungkin lebih elegan kita sebut eksistensialisme dan esensialisme. Yang menarik adalah pernyataan Muthahhari yang menyatakan bahwa ketika kita membicarakan kedua aliran filsafat Islam ini, referensi yang harus dibuat bukanlah pada Plato atau Aristoteles, tetapi pada Islam sendiri.
Berbicara tentang metode filosofis atau ilmiah dalam Islam, Muthahhari membedakannya dengan begitu rapi tiga macam metode, yaitu, metode deduktif dari filsafat peripatetik. Metode ini dipakai oleh sebagian besar filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Nashir al-Thusi, Mir Damed, Ibn Rusyd dan lain-lain. Ciri khas metode ini adalah penyandarannya yang ekslusif pada deduksi dan demonstrasi rasional. Metode yang kedua disebut iluminasionis yang dikatakan memiliki pengikut yang lebih sedikit. Metode ini dihidupkan kembali oleh Suhrawardi, Quthb al-Din Shirazi, Sahrazuni dan lain-lain. Metode ini didasarkan pada deduksi dan demonstrasi rasional dan juga pada upaya pensucian jiwa. Metode ketiga adalah yang disebut ‘irfani, yang menurutnya memiliki banyak pengikut seperti Bayazid al-Bishthami, al-Hallaj, Syibli, Junayd al-Baghdadi, Dzun Nun al-ishri, Khwaja ‘Abdullah Ansara, Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi. Tapi wakil utamanya adalah Ibn Arabi. Yang menarik tentang metode pemikiran ini adalah penjelasannya yang gamblang tentang persamaan dan perbedaan diantara ketiga metode tersebut, yang tidak saya dapatkan dari filosof lain dia mengatakan metode ‘irfani yang agak liar mempunyai satu persamaan dengan metode ilmuninasionis dan dua perbedaan dengannya. Yang sama adalah penyandaran mereka pada perbaikan, penghalusan (refinement) dan pensucian jiwa. Sedangkan perbedaan-perbedaannya adalah sebagai berikut: Kaum ‘arif sama sekali menolak deduksi; sementara kaum illuminasionis, mendukungnya dan menggunakan pemikiran dan pembersihan jiwa untuk saling membantu. Kaum iluminasionis, sebagaimana halnya para filosof yang lain, berusaha menemukan realitas (kebenaran) sedangkan kaum ‘arif mencoba mencapainya.
Sedangkan menyangkut masalah ke-Tuhan-an, Muthahhari memberikan garis argumen yang sama dengan gurunya Thabataba’i, tetapi dengan cara yang sedikit berbeda. Dia mengatakan bahwa ketika kita melihat alam sekitar melalui indera, maka kita akan dapati beberapa karakteristik dari alam tersebut, yaitu (1) Keterbatasan (limitation); (2) Perubahan (change); (3) Ketergantungan (dependency); (4) Membutuhkan yang lain (need) dan ke (5) Relativitas.
Tentang konsep tawhid ini, Muthahhari menyatakan bahwa Syiah adalah penerus dari sekte teologi Mu’tazilah. Oleh karena itu, sebagai filosof Syiah, memiliki kesamaan. Berbicara tentang tauhid, Muthahhari membedakan pada tiga level: Esensi (zat), sifat dan tindakan (af’al). Tauhid pada level esensi mengisyaratkan bahwa sang Realitas ini tidak mengizinkan dualitas atau keanehan apapun. Ia tidak memiliki padanan atau yang serupa dengan-Nya. Esensi Wujud niscaya akan mengatasi semua pembicaraan tentang spesis dan varietas, karena itu semua merupakan karakteristik dari makhluk dan wujud-wujud yang mungkin. Jadi tauhid esensi ini berarti mengetahui esensi (Zat) Tuhan dalam keesaan dan keunikan-Nya. Adapun tauhid pada level sifat berarti “mengetahui bahwa Dzat Tuhan dalam kesamaannya dengan sifat-sifat-Nya dan sifat-sifat-Nya dalam kesamaan mereka satu sama lain. Kalau tauhid dzati berarti menolak adanya yang kedua atau yang setara, maka tauhid sifati berarti menolak adanya jenis keragaman dan kemajemukan (compoundedness) apapun dalam Dzat Tuhan sendiri.
Sedangkan mengenai manusia, sebagai pemikir Syi’ah yang sering diidentikkan dengan Mu’tazilah, Muthahhari menolak bahwa manusia telah ditentukan nasibnya secara deterministik. Kepercayaan Syi’ah pada prinsip keadilan, dalam pandangan Muthahhari berarti bahwa Syi’ah mengakui prinsip kebebasan manusia, pertanggung-jawaban manusia dan kreativitasnya. Takdir Tuhan telah menciptakan sistem dan telah memunculkan serangkaian norma dan hukum. Karena itu, kapan saja manusia mencari sesuatu yang diinginkannya, ia harus mencarinya lewat sistem dan norma-norma tadi, jadi rizki, sekalipun berasal dari pusaka ilahi, tetapi harus dicari melalui sistem dan norma tertentu, dan bukan dengan begitu saja diberikan secara pilih kasih.


D. Kesimpulan
Kemunculan Syiah dalam dunia Islam, seyogyanya tidak lantas membuat kita menganak tirikan mereka. Bagaimanapun, kelahiran mereka telah memberi arti yang banyak bagi Islam, baik di masa lampau maupun untuk masa kini.
Syiah, yang cenderung menganut paham Mu’tazilah, telah membawa Islam pada dunia yang lebih rasional. Kehadiran mereka telah mengentaskan pengikut Islam dari taqlid buta. baik dalam pemikiran maupun tindakan. Kita bisa menyaksikan bagaimana sepak terjang mereka di dunia intelektual, di mana mereka banyak melahirkan para pemikir terkemuka. Dan ktia juga tidak bisa menutup mata pada kontribusi mereka dalam mengentaskan masyarakat dari penindasan rezim syah di Iran, misalnya.
Meski latarbelakang kemunculannya lebih identik dengan aspek politik, tapi pada banyak aspek juga mereka banyak pula perannya. Intelektual jelas, dalam peradaban pun mereka mulai menunjukkan tajinya. Islam dengan gaya khas Syiah mulai manampakkan kebolehannya dengan menantang hegemoni Barat yang berkuasa saat ini.


Daftar Pustaka

1 Muthahari, Murthada. Masyarakat dan Sejarah. Cet.V. 1995. Bandung: Anggota IKAPI.
2 Dabashi, Hamid. Theology of Discontent: the Idological Foundation of The Islamic Revolution in Iran. 1993. New York & London: New York University Press.
3 Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. ed.2. 1983. New York: Columbia University Press.
4 Rowson, E.K. (ed). A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiri’s Kitan al-Amad ala al-Abad. 1988. New Haven: American Oriental Society.
5 Muthahhari, Murtadha. Fundamentals of islamic Thought: God, Man and the Universe. translated by R. Campbell. 1985. Berekeley: Mizan Press.
6 Zayd, Nasr Hamd Abu. Voice of an Exile: Reflections on Islam. 2004. Westport. Connecticut/London: Praeger.



Imam Ali bin Abi Thalib memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh imam-imam yang lain, hal ini yang menyebabkan penghormatan yang berlebih terhadap beliau. Di antara kelebihan-kelebihan itu adalah; Ia adalah pemuda pertama yang masuk Islam, kedua Nabi pernah bersabda dalam riawayat yang mutawatir bahwa imam Ali terjaga dari dosa, ia juga orang yang berani memperjuangkan Islam meski harus mengorbankan nyawanya, begitu juga dengan peristiwa Ghadir Khum yang turut memberi warna dalam Islam.
Murthada Muthahari, Masyarakat dan Sejarah, Cet.V, Bandung: Anggota IKAPI, 1995. Hal: 4.
Hamid Dabashi, Theology of Discontent: the Idological Foundation of The Islamic Revolution in Iran (New York & London: New York University Press, 1993), h. 148-150.
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, ed. 2 (New York: Columbia University Press, 1983), h. 222-223.
Lihat Hamid Dabashi, The Theology of Discontent, h. 151
Al-Amiri, misalnya mengatakan bahwa Phytagoras belajar metafisika dari sahabat-sahabat Nabi Sulaiman, dan Empedokles belajar dengan Lukman al-Hakim E.K. Rowson (ed), A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiri’s Kitan al-Amad ala al-Abad (New Haven: American Oriental Society, 1988), h. 71-71.
Murtadha Muthahhari, Fundamentals of islamic Thought: God, Man and the Universe, translated by R. Campbell (Berekeley: Mizan Press, 1985), h. 146.
Nasr Hamd Abu Zayd, Voice of an Exile: Reflections on Islam (Westport, Connecticut/London: Praeger, 2004). Hal: 95.
Ibid. Hal: 99.
Ibid. Hal: 97.
Ibid. Hal: 101.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS