RSS

Cendekiawan Syiah Dalam Perannya Sebagai Penggerak Sejarah

A. Pendahuluan
Syiah sebagai paham dalam Islam lebih sering muncul pada wajah negatifnya daripada peran yang mereka ukir bagi perkembangan sejarah Islam. Maklum, sebagai golongan yang lahir dari kaum oposisi, mereka seringkali didistorsi. Sehingga yang tampak saat ini bukan peran-peran yang mereka torehkan untuk Islam melainkan tampak lebih sebagai kaum yang terpinggirkan yang berbeda aliran sehingga patut untuk dimusuhi bahkan diperangi.
Tentu hal ini tidak menguntungkan bagi Islam sebagai peradaban. Di satu sisi kita menolak mereka sebagai saudara kita, di sisi lain kita disibukkan dengan menutup diri bahkan terkesan sangat memusuhi mereka. Hal ini semakin membuka ’borok’ berupa fragmentasi dalam dunia Islam. Sehingga bukan saja non-integrated tapi juga mudah diadu domba.
Pada kesempatan kali ini, saya berusaha mengangkat peran yang telah ditorehkan Syiah dalam dunia Islam untuk mengikis pandangan negatif tentang mereka. Yaitu dengan mengangkat pemikiran dan kontribusi tokoh-tokoh mereka. Di sini, kita akan mengangkat tiga tokoh terkemuka Syiah, terutama pada abad kontemporer yang berperan besar bagi pembaharuan Islam. Ketiga tokoh tersebut yaitu: Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari, dan Muhammad Nasr Hamd.

B. Syiah; Sejarah Kemunculannya
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. , para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAW setelah ia wafat. Keyakinan ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah guna menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAWW. Dan dengan cara dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali a.s. yang hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah Rasulullah SAW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali a.s. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali a.s. setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali a.s. untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali a.s. tampil aktif dalam memecahkannya.

C. Cendekiawan Syiah
1. Ali Syari’ati
Syari’ati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang pembicara nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.
Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Syari’ati berkenalan dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi yang lebih lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek dari pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan dan memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat-masyarakat Muslim melalui prinsip-prinsip Islam yang tradisional, yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern. Syariati juga sangat dipengaruhi oleh Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.
Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, kemudian ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di Universitas Paris. Di sana ia memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis. Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya jadi populer di antara mahasiswa dari semua kelas sosial, dan hal ini kembali mengundang tindakan oleh penguasa Kekaisaran yang memaksa Universitas untuk melarangnya mengajar.
Syari’ati lalu pergi ke Teheran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Syariati.
Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Syariati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.
Syari’ati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Syariati yang revolusioner, yang anti-klerus dan mendukung nilai-nilai egalitarian
Syariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam
Pemikiran
Menurut Ali Syari’ati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai semangat kolektif suatu kelompok. Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, papar Syari’ati, dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu memproklamirkan semboyan-semboyan tertentu dalam membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama sebagai institusi sosial.
Berangkat dari asumsi demikian, maka dapat dicari sebuah jawaban dari pertanyaan mengapa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan cepat dapat diterima oleh masyarakat Arab. Islam sebagai ideologi yang diusung oleh Muhammad membawa orde sosial baru yang disandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam stuktur sosial masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat Arab yang sudah lama muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai menemukan semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan dan kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk melepaskan diri dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.
Sehingga dapat dimengerti jika kemudian Syari’ati mencoba merekonstruksi “Islam Syi’ah” sebagai ideologi revolusioner. Syari’ati menyatakan dengan jelas, bahwa Islam bukanlah Islam kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahîd, bukan pula Islam dalam tradisi umum, tetapi Islam dalam kerangka Abu Zar. Islam lahir secara progresif dalam upaya merespon problem-problem masyarakat dan memimpin masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita yang berharga. Dalam hal ini, Islam dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif, dan diposisikan sebagai “agama pembebasan” yang fokus dengan isu-isu sosial-politik seperti penindasan, diskriminasi, ketidakadilan dan sebagainya. Semangat Islam sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam untuk membangun konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa penindasan dan ketidakadilan.
Dalam konteks global Syari’ati melihat ada problem besar masa depan dunia Islam, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah mengalienasi masyarakat Muslim dari kebudayaan aslinya (turâts), karena mereka mau tidak mau harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis. Senada dengan Syari’ati, Hasan Hanafi juga melihat bahwa kolonialisme atau westernisasi mempunyai pengaruh luas terhadap dunia Timur (Muslim), tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban. Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah pada gaya kehidupan sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni bangunan. Tidak hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk membuka diri terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan keterbukaan bahasa, maka konsekuensinya harus menerima kehadiran bahasa asing.
Syari’ati memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda negara Dunia Ketiga tak terkecuali Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas, ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westoxication). Ia menyatakan bahwa kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh terbesar masyarakat yang harus diberantas dalam jangka panjang. Tetapi untuk jangka pendek, menurut Syari’ati, ada dua musuh yang harus segera dimusnahkan: pertama, Marxisme vulgal – menjelma terutama dalam Marxisme-Stalinisme – yang banyak digemari para intelektual dan kaum muda Iran, dan kedua, Islam konservatif sebagaimana dipahami kaum mullah yang menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada para penguasa.
Untuk membebaskan massa dari krisis yang membawa mereka mencapai negara yang merdeka dan berkeadilan sosial-ekonomi, Syari’ati yakin bukan melalui Liberalisme, Kapitalisme, ataupun Sosialisme, namun yang bisa mengobati penyakit ini, kata Syari’ati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan. Hal ini sangat masuk akal jika Syari’ati menginginkan Islam sebagai penggerak revolusi. Terlebih lagi dalam konteks Iran, Islam (Syi’ah) justru dijadikan sebagai agama resmi negara. Dengan latar belakang yang demikian kondusif, Syari’ati menempuh sejumlah strategi sekaligus mengkonsolidasi masyarakat ke dalam satu paradigma: Islam adalah solusi. Beberapa strategi tersebut mengandung muatan yang sama, yakni menyakinkan masyarakat untuk memilih Islam sebagai jalan perubahan.
Pertama-tama Syari’ati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa Islam agama yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan. Syari’ati sangat antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi pemahaman Islam yang benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat. Mereka itulah yang menurut Syari’ati disebut para pemikir tercerahkan (rausanfikr). Kemudian Syari’ati menunjukkan bahwa Islam merupakan akar budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan demikian masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika menginginkan perubahan.
Untuk mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi, mula-mula Syari’ati melakukan redifinisi tentang pemahaman ideologi itu sendiri Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lain, dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu atau pengetahuan. Sehingga ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Menurut pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas sosial atau suatu bangsa.
Syari’ati berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip, kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui dan tidak terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran dan substansi, fenomena dan konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran manusia. Tentu saja pemahaman Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan pandangan para penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen Habermas, misalnya, ia menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan filsafat (bahasa Habermas: Knowledge, pengetahuan) mempunyai landasan yang sama dalam pengembanganya, yaitu kepentingan (keberpihakan). Walaupun Habermas berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa kepentingan itu adalah pasti kepentingan kelompok atas, Habermas lebih melihat kepentingan itu muncul dari siapa saja (manusia kelompok manapun) yang terlibat dalam pengembangkan sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.
Di sisi yang berbeda, ideologi menuntut seorang cendekiawan untuk memihak. Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah suatu kepentingan yang mutlak. Setiap ideologi memulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo, kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi, politik dan moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Berbeda dengan filsafat maupun ilmu yang sama sekali tidak mempunyai komitmen seperti itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak membedakan apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut.
Inilah perbedaan yang menyolok antara ilmu, filsafat dan ideologi. Dengan kata lain, agar ideologi mampu memposisikan dirinya menjadi landasan perjuangan, maka keberpihakannya harus jelas. Pada wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga mampu memberikan doktrin-doktrin politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa menyerang. Inilah sebenarnya, kata Syari’ati, makna sesungguhnya dari ideologi, yang berarti bukan konsep, landasan berfikir, filsafat, apalagi ilmu. Ideologi adalah kata lain dari keberpihakan politik, tegas Syari’ati.
Lebih lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas Syari’ati, yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengoganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab, keterlibatan dan komitmen. Ideologi, lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggungjawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan hanya dapat digerakkan oleh ideologi.
Setelah mengkonstruksi gagasannya tentang ideologi, Syari’ati menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakkan oleh masyarakat yang mempunyai ideologi kokoh. Dalam kondisi keterpurukan untuk konteks Iran, Syari’ati berfikir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komprehensif, sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, untuk tujuan makhluq secara keseluruhan.
Di sinilah letaknya bahwa Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan: Ia (Islam) akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan kekuasaan tiranik. Ia tidak akan pernah berbaiat (sepakat) dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan pewaris setan. Asy-syûra mengingatkan kembali akan ajaran ihwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan.
Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantab selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan menifestasi dari semangat ideal kemanusiaan yang sejati”. Jika Islam diubah bentuknya dari “madzhab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apa pun kepada masyarakat.
Untuk mencapai tujuan menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi Islam, Syari’ati menempuh beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk melakukan redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu yang berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis untuk mengubah status quo yang tidak memuaskan kehendak masyarakat.
Pada tahap pertama, Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhid sebagai pandangan dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani. Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Pada tahap kedua, adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.
Dengan berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri menjadi medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara keseluruhan. Meskipun demikian, Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Pada tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.
Keseluruhan langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan mengerucut pada satu tujuan, yaitu pembaharuan Islam (protestanism).
Gerakan Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang sangat besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk: pertama, penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan gerakan. Kedua, mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan yang semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman di antara mereka, dan dengan demikian menempatkan agama – yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan gerakan – untuk kepentingan rakyat. Keempat, mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang diperlukan untuk menggerakkan rakyat.
Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang – dengan kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil – melumpuhkan agen-agen reaksioner dalam masyarakat, sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-unsur yang digunakan untuk membius mereka. Keenam, menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran bebas (ijtihâd) yang kritis, revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat dicapai melalui gerakan pembaharuan agama yang akan menyaring dan menyuling cadangan energi yang sangat besar di dalam masyarakat, dan akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan generasi masa kini. Karena alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang yang tercerahkan dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif

2. Murtadha Muthahari

Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, sebuah kota kira-kira 120 km dari Masyhad, pada tanggal 2 Februari 1919 dari keluarga yang saleh di Khurasan. Ayahnya adalah Muhammad Hussein Muthahhari, seorang alim yang dihormati. Ia dibesarkan dalam asuhan ayah yang bijak sampai usia 12 tahun. Pada tahun 1356 H, ia hijrah ke Qum untuk belajar pada dua guru kenamaan, Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini. Selagi menjadi mahasiswa, ia menunjukkan minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Ia telaah karya-karya Aristoteles, Will Durrant, Sartre, Freud, Bertrand Russel, Eric Fromm, Alexis Carrell, dan pemikir-pemikir Barat lainnya.
Guru utamanya di bidang filsafat adalah Allamah Thabathaba’i, guru besar filsafat dan penyusun tafsir, Al-Mizan. Dalam usia 36 tahun, ia sudah mengajar logika, filsafat dan fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang diasuhnya: Fiqh, Ushl Fih, Ilmu Kalam, Al-Irfan (Tasawuf), Logika dan Filsafat. Ia syahid pada dua Mei 1979 oleh berondongan peluru beberapa orang pemuda dari kelompok furqan.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Muthahhari pindah ke Masyhad, yang merupakan pusat belajar dan ziarah yang bergengsi, untuk meneruskan pendidikannya dengan guru-guru yang otoritatif di bidangnya. Pada tahun 1936 ia meninggalkan Masyhad untuk pergi ke Qum. Adapun faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi ke Qum meninggalkan Masyhad adalah wafatnya Mirza Mehdi Shahidu Ravazi, seorang guru yang terkenal filsafat Islam. Dan Muthahhari memang telah memperlihatkan bakat filsafatnya yang menonjol. Pada tahun 1937, Muthahhari baru betul-betul menetap dan tinggal di Qum di mana studi tentang filsafat, sekalipun tidak betul-betul diizinkan, tetapi paling tidak relatif lebih dimungkinkan.
Pada musim panas 1941, Muthahhari meninggalkan Qum yang panas untuk pergi ke Isfahan di mana ia mempelajari Nahj al-Balaghah dengan Hajj Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, seorang guru yang punya otoritas dari naskah Syi’ah yang terkenal ini. Untuk belajar ushul fiqh dengan Ayatullah Borujerdi yang pindah ke Qum tahun itu. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1945, Muthahhari mulai membaca sebuah naskah filosofis, yaitu Manzumah karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomeini.
Pada tahun 1946, ketika ia mulai mempelajari Kifayah al-Usul, sebuah kitab hukum, dari Akhund Khorasani dengan Ayatullah Khomeini, ia memulai komitmen seumur hidupnya untuk memelajari Marxisme untuk kemudian dibantahnya. Tetapi, menurut Hamid Dabashi, sumber-sumber yang dipakai Muthahhari untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumber-sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamflet-pamflet oleh kaum Marxis yang tergabung dalam Partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab.
Pada tahun 1949 Muthahari memulai studinya terhadap al-Asfar al-Arba’ah karangan filosof Syiah abad keenambelas. Teman sekelasnya antara lain Ayatullah Muntazhari, Hajj Aqa Reza Sadr, dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri.
Pada tahun 1950 Muthahhari konsentrasi lebih keras lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia dari karya George Pulitzer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai mengikuti diskusi kamis Allamah Tabataba’i tentang “filsafat materialis”. Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-e Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik). Muthahhari kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap menerbitkannya (1953-1985). Disamping itu pada waktu ini ia mempelajari Ibn Sina dengan Allamah Tabataba’i. diantara teman sekelasnya adalah Muntazeri dan Behesti.
Pada tahun 1954 ia mulai mengajar di Tehran University, di Fakultas Teologi. Tetapi menjelang awal tahun 60-an dia terlibat secara aktif dalam organisasi masyarakat Religius Bulanan (Anjoman-e ye dini), dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah.
Muthahhari dicekal sebentar selama pemberontakan Ayatullah Khomeini pada bulan Juni 1963, dan majalah bulanan (The Mounthy Discdurse) dilarang. Pada tahun 1964 promosi Muthahhari di Tehran University ditolak. Pada tahun 1965 ia turut berjasa dalam mendirikan Hosseiniyyeh Ershad, yaitu sebuah organisasi religius yang didirikan secara pribadi (swasta yang diabdikan untuk kepentingan Syi’ah).
Antara bulan Juni 1963 dan bangkitnya gerakan revolusi pada tahun 1977-1979, Muthahhari terus mengadakan kontak dengan Ayatullah Khomeini, dan bahkan dalam kenyataannya ia menjadi satu-satunya wakil di Iran yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat karena pengasingan Ayatullah. Pada waktu yang bersamaan ia terus memberi kuliah dan menulis tentang berbagai isu-isu keagamaan dan sosial. Tapi pada bulan Mei tanggal 1, 1979 Muthahhari terbunuh hanya beberapa saat setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Diantara tulisan-tulisannya, selain Ushul-e Falsafah adalah Struktur Hak-Hak Wanita dalam Islam (1966-1967), Manusia dan Nasibnya (1966), Layanan Timbal Balik antara Iran dan Islam (1967), Pertolongan Ghaib dalam Kehidupan Manusia (1969) dan lain-lain.
Pemikiran
Muthahhari telah memperlihatkan kecenderungan yang kuat pada filsafat sejak dini dalam hidupnya. Tentu saja ketika kita bilang filsafat, yang dimaksud adalah filsafat Islam. Dan ketertarikan Muthahhari terhadap filsafat ternyata bukan hanya sekedar keranjingan pada pemikiran-pemikiran spekulatif, tetapi justru ia melihat filsafat sebagai senjata ideologi yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular yang tersebar cepat di Iran. Ini tentu mengingatkan kita pada situasi sama yang dihadapi al-Ghazali sepuluh abad yang lalu, ketika ia menemukan filsafat sebagai senjata ampuh ideologi (dalam hal ini agama Islam) untuk menangkal ide-ide filosofis. Bedanya sementara yang dihadapi oleh al-Ghazali adalah ide-ide filosofis para filosof Muslim (falasifah) yang dianggap tidak ortodoks, yang dihadapi Muthahhari adalah ide-ide sekular Barat, khususnya Marxisme. Tapi semangatnya sama. Demikian penting peran filsafat sebagai senjata ideologi, sehingga Muthahhari berusaha menghidupkan kembali tradisi filosofis yang secara aman telah jinak, dan ia percaya filsafat merupakan “prioritas utama dalam skala makna (signifikansi) diantara semua cabang ilmu pengetahuan.
Selain bicara tentang filsafat sebagai senjata ideologis yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular Baat, Muthahhari juga menyatakan dengan tegas bahwa filsafat bukanlah hak istimewa Barat. Dia mengatakan dan percaya bahwa “Yunani Kuno (sebagai lambang filsafat Barat) memperoleh asal keberhasilannya yang utama dari Timur. Sarjana-sarjana besar dari belahan dunia tersebut berulangkali melancong ke Timur, belajar banyak dari sarjana-sarjana Timur, dan ketika mereka kembali, mereka menyebarkannya di negeri mereka.” Pendapat ini barangkali mendapat dukungan dari sumber-sumber klasik Islam, seperti yang dinyatakan oleh al-Amiri dalam kitabnya al-Amad ‘ala al-Abad. Tentu dalam konteks kekinian, ia ingin menyatakan bahwa bukan hanya orang-orang Barat yang memiliki filsafat, tetapi juga umat Islam. Dalam kitabnya Ushul-e Falsafah, jelas terlihat usaha Muthahhari untuk menunjukkan keunggulan filsafat Islam atas filsafat Barat, yang disebutnya tidak realistik.
Dan sejauh ia menyangkut filsafat Islam, maka Muthahhari menunjuk dua tradisi besar yang ada di sana, yaitu Paripatetik, yang menurutnya lebih tepat disebut deduksionis, yang diwakili oleh Ibn Sina (w. 1037) dan Illuminasionis (Isyraqi) yang diwakili oleh Suhrawardi (w. 1191). Yang pertama lebih menekankan keutamaan wujud (ishalat al-wujud) sedangkan yang lain lebih menekankan keutamaan esensi (isal al-mahiyyah) atau yang mungkin lebih elegan kita sebut eksistensialisme dan esensialisme. Yang menarik adalah pernyataan Muthahhari yang menyatakan bahwa ketika kita membicarakan kedua aliran filsafat Islam ini, referensi yang harus dibuat bukanlah pada Plato atau Aristoteles, tetapi pada Islam sendiri.
Berbicara tentang metode filosofis atau ilmiah dalam Islam, Muthahhari membedakannya dengan begitu rapi tiga macam metode, yaitu, metode deduktif dari filsafat peripatetik. Metode ini dipakai oleh sebagian besar filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Nashir al-Thusi, Mir Damed, Ibn Rusyd dan lain-lain. Ciri khas metode ini adalah penyandarannya yang ekslusif pada deduksi dan demonstrasi rasional. Metode yang kedua disebut iluminasionis yang dikatakan memiliki pengikut yang lebih sedikit. Metode ini dihidupkan kembali oleh Suhrawardi, Quthb al-Din Shirazi, Sahrazuni dan lain-lain. Metode ini didasarkan pada deduksi dan demonstrasi rasional dan juga pada upaya pensucian jiwa. Metode ketiga adalah yang disebut ‘irfani, yang menurutnya memiliki banyak pengikut seperti Bayazid al-Bishthami, al-Hallaj, Syibli, Junayd al-Baghdadi, Dzun Nun al-ishri, Khwaja ‘Abdullah Ansara, Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi. Tapi wakil utamanya adalah Ibn Arabi. Yang menarik tentang metode pemikiran ini adalah penjelasannya yang gamblang tentang persamaan dan perbedaan diantara ketiga metode tersebut, yang tidak saya dapatkan dari filosof lain dia mengatakan metode ‘irfani yang agak liar mempunyai satu persamaan dengan metode ilmuninasionis dan dua perbedaan dengannya. Yang sama adalah penyandaran mereka pada perbaikan, penghalusan (refinement) dan pensucian jiwa. Sedangkan perbedaan-perbedaannya adalah sebagai berikut: Kaum ‘arif sama sekali menolak deduksi; sementara kaum illuminasionis, mendukungnya dan menggunakan pemikiran dan pembersihan jiwa untuk saling membantu. Kaum iluminasionis, sebagaimana halnya para filosof yang lain, berusaha menemukan realitas (kebenaran) sedangkan kaum ‘arif mencoba mencapainya.
Sedangkan menyangkut masalah ke-Tuhan-an, Muthahhari memberikan garis argumen yang sama dengan gurunya Thabataba’i, tetapi dengan cara yang sedikit berbeda. Dia mengatakan bahwa ketika kita melihat alam sekitar melalui indera, maka kita akan dapati beberapa karakteristik dari alam tersebut, yaitu (1) Keterbatasan (limitation); (2) Perubahan (change); (3) Ketergantungan (dependency); (4) Membutuhkan yang lain (need) dan ke (5) Relativitas.
Tentang konsep tawhid ini, Muthahhari menyatakan bahwa Syiah adalah penerus dari sekte teologi Mu’tazilah. Oleh karena itu, sebagai filosof Syiah, memiliki kesamaan. Berbicara tentang tauhid, Muthahhari membedakan pada tiga level: Esensi (zat), sifat dan tindakan (af’al). Tauhid pada level esensi mengisyaratkan bahwa sang Realitas ini tidak mengizinkan dualitas atau keanehan apapun. Ia tidak memiliki padanan atau yang serupa dengan-Nya. Esensi Wujud niscaya akan mengatasi semua pembicaraan tentang spesis dan varietas, karena itu semua merupakan karakteristik dari makhluk dan wujud-wujud yang mungkin. Jadi tauhid esensi ini berarti mengetahui esensi (Zat) Tuhan dalam keesaan dan keunikan-Nya. Adapun tauhid pada level sifat berarti “mengetahui bahwa Dzat Tuhan dalam kesamaannya dengan sifat-sifat-Nya dan sifat-sifat-Nya dalam kesamaan mereka satu sama lain. Kalau tauhid dzati berarti menolak adanya yang kedua atau yang setara, maka tauhid sifati berarti menolak adanya jenis keragaman dan kemajemukan (compoundedness) apapun dalam Dzat Tuhan sendiri.
Sedangkan mengenai manusia, sebagai pemikir Syi’ah yang sering diidentikkan dengan Mu’tazilah, Muthahhari menolak bahwa manusia telah ditentukan nasibnya secara deterministik. Kepercayaan Syi’ah pada prinsip keadilan, dalam pandangan Muthahhari berarti bahwa Syi’ah mengakui prinsip kebebasan manusia, pertanggung-jawaban manusia dan kreativitasnya. Takdir Tuhan telah menciptakan sistem dan telah memunculkan serangkaian norma dan hukum. Karena itu, kapan saja manusia mencari sesuatu yang diinginkannya, ia harus mencarinya lewat sistem dan norma-norma tadi, jadi rizki, sekalipun berasal dari pusaka ilahi, tetapi harus dicari melalui sistem dan norma tertentu, dan bukan dengan begitu saja diberikan secara pilih kasih.


D. Kesimpulan
Kemunculan Syiah dalam dunia Islam, seyogyanya tidak lantas membuat kita menganak tirikan mereka. Bagaimanapun, kelahiran mereka telah memberi arti yang banyak bagi Islam, baik di masa lampau maupun untuk masa kini.
Syiah, yang cenderung menganut paham Mu’tazilah, telah membawa Islam pada dunia yang lebih rasional. Kehadiran mereka telah mengentaskan pengikut Islam dari taqlid buta. baik dalam pemikiran maupun tindakan. Kita bisa menyaksikan bagaimana sepak terjang mereka di dunia intelektual, di mana mereka banyak melahirkan para pemikir terkemuka. Dan ktia juga tidak bisa menutup mata pada kontribusi mereka dalam mengentaskan masyarakat dari penindasan rezim syah di Iran, misalnya.
Meski latarbelakang kemunculannya lebih identik dengan aspek politik, tapi pada banyak aspek juga mereka banyak pula perannya. Intelektual jelas, dalam peradaban pun mereka mulai menunjukkan tajinya. Islam dengan gaya khas Syiah mulai manampakkan kebolehannya dengan menantang hegemoni Barat yang berkuasa saat ini.


Daftar Pustaka

1 Muthahari, Murthada. Masyarakat dan Sejarah. Cet.V. 1995. Bandung: Anggota IKAPI.
2 Dabashi, Hamid. Theology of Discontent: the Idological Foundation of The Islamic Revolution in Iran. 1993. New York & London: New York University Press.
3 Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. ed.2. 1983. New York: Columbia University Press.
4 Rowson, E.K. (ed). A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiri’s Kitan al-Amad ala al-Abad. 1988. New Haven: American Oriental Society.
5 Muthahhari, Murtadha. Fundamentals of islamic Thought: God, Man and the Universe. translated by R. Campbell. 1985. Berekeley: Mizan Press.
6 Zayd, Nasr Hamd Abu. Voice of an Exile: Reflections on Islam. 2004. Westport. Connecticut/London: Praeger.



Imam Ali bin Abi Thalib memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh imam-imam yang lain, hal ini yang menyebabkan penghormatan yang berlebih terhadap beliau. Di antara kelebihan-kelebihan itu adalah; Ia adalah pemuda pertama yang masuk Islam, kedua Nabi pernah bersabda dalam riawayat yang mutawatir bahwa imam Ali terjaga dari dosa, ia juga orang yang berani memperjuangkan Islam meski harus mengorbankan nyawanya, begitu juga dengan peristiwa Ghadir Khum yang turut memberi warna dalam Islam.
Murthada Muthahari, Masyarakat dan Sejarah, Cet.V, Bandung: Anggota IKAPI, 1995. Hal: 4.
Hamid Dabashi, Theology of Discontent: the Idological Foundation of The Islamic Revolution in Iran (New York & London: New York University Press, 1993), h. 148-150.
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, ed. 2 (New York: Columbia University Press, 1983), h. 222-223.
Lihat Hamid Dabashi, The Theology of Discontent, h. 151
Al-Amiri, misalnya mengatakan bahwa Phytagoras belajar metafisika dari sahabat-sahabat Nabi Sulaiman, dan Empedokles belajar dengan Lukman al-Hakim E.K. Rowson (ed), A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiri’s Kitan al-Amad ala al-Abad (New Haven: American Oriental Society, 1988), h. 71-71.
Murtadha Muthahhari, Fundamentals of islamic Thought: God, Man and the Universe, translated by R. Campbell (Berekeley: Mizan Press, 1985), h. 146.
Nasr Hamd Abu Zayd, Voice of an Exile: Reflections on Islam (Westport, Connecticut/London: Praeger, 2004). Hal: 95.
Ibid. Hal: 99.
Ibid. Hal: 97.
Ibid. Hal: 101.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Peran Ulama Islam Syiah memang selalu dikesampingkan dalam perkembangan Islam, tapi implementasi dari perjuangan mereka lebih sangat terasa walaupun kenyataan mayoritas dari ummat islam tidak mengakuinya dan juga memang karena ketidakmautahuan mereka karena sikap yang anti kritis kepada penguasa penguasa yang dzalim.

Posting Komentar