Salah satu langkah mengetahui kualitas yang paling efektif adalah dengan komparasi atau perbandingan. Dari komparasi akan sangat bermanfaat apabila tepat menggunakannya.
Banyak hal dilakukan seseorang, kelompok ataupun instansi dan lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah untuk mengkomparasi (study banding). Kita bisa menemukan di sekolah-sekolah sekitar kita yang melakukan studi banding ke sekolah favorit luar daerah, atau satu kampus berkunjung ke kampus lain. Begitu juga dengan instansi pemerintah, termasuk belakangan ini ramai diberitakan Komisi VII mau berkunjung ke Skandinavia di Eropa nun jauh di sana. Tentunya kita, juga pelaku banding, sadar bahwa perbandingan yang mereka lakukan itu tidak murah. Tapi ada juga perbandingan yang murah, misalkan, membandingkan harga sembako di Jakarta dengan harga sembako di Tokyo.
Perbandingan itu mungkin gratis, tapi kita harus hati-hati dalam menggunakan perbandingan. Syarat mutlak dalam melakukan komparasi atau perbandingan adalah kesetaraan variabel atau objek antara dua poin yang akan diperbandingkan. Suatu kampus tidaklah mungkin melakukan studi banding ke Taman Kanak-Kanak, atau sebaliknya. Hal ini karena variabel antara dunia kampus dan dunia TK berbeda. Contoh lain kita tentu tidak dapat membandingkan rasa antara martabak keju dengan roti bakar coklat, tentu keduanya memiliki variabel yang berbeda.
Tapi sadarkah kita betapa sering kita melakukan komparasi yang menyimpang, yaitu membandingnkan dua objek yang memiliki variabel berbeda itu? Itu merupakan bentuk komparasi yang menyimpang, dan melakukan penyimpangan komparasi HARAM hukumnya!
Dikatakan haram karena komparasi yang menyimpang menyesatkan.
Sebagai contoh seperti yang saya katakan di atas bahwa harga barang-barang pokok di Tokyo lebih mahal dari Jakarta. Objek barang-barang pokok yang dijadikan bahan komparasi memang sama. Tapi kita harus ingat bahwa kesejahteraan masyarakat Jepang jauh lebih makmur daripada masyarakat Indonesia. Maka seharusnya bila ingin membandingkan tingginya harga pokok di Tokyo dan di Jakarta, kita juga harus membandingkan tingginya penghasilan masyarakat Tokyo dengan masyarakat kita di Jakarta. Ini yang sering kita lupakan.
Penyakit lupa ini pula yang diidap oleh pemerintah ktia saat berniat menaikkan harga BBM. Yang terhormat para penguasa kita selalu saja bergembar-gembor bahwa harga BBM di negara kita masih lebih murah dibanding di negara tetangga, Malaysia misalnya. Tapi sayangnya penguasa kita itu lupa bahwa tingkat harga BBM di negara itu sejajar dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Sangat tidak adil bila akan menyamakan harga BBM di negara kita yang rata-rata masyarakatnya bergaji Rp 1.000.000,- per bulan dengan negara tetangga yang rata-rata gajinya Rp 10.000.000,- per bulan. Saya kira perbuatan ini pantas dikatakan dzolim. Saya pikir masih banyak jalan yang jauh lebih efektif daripada “berlogika malas” dengan asal menaikkan harga BBM tanpa menghiraukan kepentingan rakyatnya.
Bukankah menindak para pelaku “mark-up” anggaran jauh lebih efektif untuk menghemat uang kita? Belum lagi tradisi birokrasi yang mewajibkan “management fee” dalam setiap proyek yang digarap. Dana untuk “management fee” minimal 5% dari total anggaran proyek. Kemana larinya uang itu? Kemana lagi kalau tidak ke saku mereka para pemain proyek. Bisa kita hitung, 5% dari total APBN kita yang sekitar 1200 triliyun tentunya bukan angka yang sedikit.
Lalu, sejauh mana kualitas bangsa kita, mulai dari rakyat sampai pemimpinnya, dengan kualitas bangsa tetangga dan bangsa negara-negara lainnya? Silahkan dikomparasi sendiri, dengan catatan, hindari komparasi yang menyimpang.
Komparasi yang Menyimpang
19.02 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar